satu

1K 102 22
                                    

Ekspektasi itu terkadang menyakitkan karena saat ini ia menderita akan ekspektasi yang telah dibuat oleh diri sendiri. Mungkin tidak sepenuhnya salah sendiri, karena ia rasa bahwa kakak tingkatnya turut andil dalam ekspektasi yang ia kira baik. 

Dulu saat ia berkenalan dan berbagi pengalaman dengan para kakak tingkat—demi memenuhi target tugas kenalan yang ada di dalam bagian buku ospek, ia pikir dengan mengikuti kegiatan kepanitiaan akan amat menyenangkan. Banyak diantara mereka yang diajak berkenalan olehnya, mengatakan bahwa dengan mengikuti organisasi atau kepanitiaan di kampus menambah pengalaman bekerja bersama orang banyak, melatih komunikasi dengan orang luar, menggali ide kreatif, melatih keahlian dalam bidang yang diminati, dan mendapatkan segudang relasi. 

"Kalo kita kerja bareng orang banyak itu sama aja mau nggak mau harus satu pikiran, karena tujuan kita itu supaya acaranya jalan dan banyak yang ikut. Pasti banyak kendala apalagi ketemu orang baru yang asal kampungnya beda-beda, nanti karakter mereka juga pasti beragam. Selain masalah dari orang yang ada di dalam kepanitiaan atau organisasi, kadang masalahnya dateng dari luar dan kebutuhan yang nggak bisa dipenuhi. Kampus itu emang selalu bilang akan kasih, tapi jangan berharap karena yang mereka kasih itu dikit."

Ya, ia baru ingat ada salah satu diantara mereka yang diajak berkenalan mengatakan hal itu. Kalingga Ian Pramudya atau yang akrab disapa Ian, mengusap wajahnya kasar. Ia kesal dan menyesal. Jika waktu boleh diulang kembali ia tidak akan menerima ajakan temannya untuk daftar menjadi staff festival kampus dan mungkin ia juga tidak akan menerima ketika ditunjuk oleh sang ketua untuk menggantikan posisi kepala divisi acara yang sebelumnya mengundurkan diri. 

"Bangsat!" 

Umpatan kasarnya tidak luput dari perhatian seorang lelaki yang sedang duduk di atas kasur miliknya. Teja teman satu angkatan sekaligus teman mainnya Ian paham betul bagaimana isi hati dan kekesalan Ian. Toh ia yang mengajak Ian untuk melompat ke jurang yang sama.

"Udah Yan, gue kan udah janji bakal bantu lo." Ucapnya berusaha menenangkan.

"Bukan perkara lo bantu atau nggaknya, Ja. Lo mau bantu atau nggak juga nggak gue pikirin. Masalahnya gimana acara bakal jalan kalau duit nggak ada? Tema acara udah diacc dan keperluan juga udah dipikirin bareng staff gue dan logistik dengan mateng. Udah masuk RAB juga. Dengan seenaknya Citra nyuruh gue harus neken anggaran kebutuhan acara? Apalagi anjing yang harus diteken anggarannya? Mau ubah harga panggung juga percuma, mana ada yang mau di sewa pake harga murah? Dikira acara kawinan?" Ian mengeluarkan semua unek-uneknya. Dadanya naik turun karena menahan emosi, mendapatkan pesan dikala banjir tugas membuat moodnya jelek.

Teja tidak langsung menanggapi, ia sedang memilah kata atau solusi agar Ian tidak semakin tersulut emosi. Mau ikut mengeluh pun yang ada nantinya akan menjadi ajang 'siapa yang paling pusing? siapa yang paling lelah? siapa yang paling menderita?'

"Udah hubungin Arya? Menurut gue ada baiknya lo ngomong ke Arya kalo neken anggaran acara itu udah nggak mungkin lagi. Jangan lupa juga lo obrolin sama Nathan, siapa tau dia punya solusi lain."

"Apa harus?"

"Ya iyalah. Komunikasi itu penting. Nathan bentar lagi balik badminton, suruh aja ke sini. Biar seenggaknya pas lo ngomong sama Arya nggak nyalahin Citra atau divisi marketing."

Ian menganggukkan kepalanya, kemudian mengambil ponsel untuk mengirim pesan.






























"Kalo harga sewa panggung kayanya nggak bisa diteken lagi karena terakhir kali pas gue survey itu udah harga sewa paling murah sewaktu gue tawar, kecuali mau cari vendor lain. Tapi nggak menutup kemungkinan nggak dapet harga di bawah ini, karena bisa aja malah nemu harga yang lebih tinggi." Jelas Nathan yang sebenarnya baru saja selesai bermain badminton di gor dekat kampus bersama teman-temannya.

sangkala bersama - jeongbbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang