tujuh

187 36 5
                                    

Mimpinya memiliki pekerjaan yang layak dan masa depan memumpuni. Dapat meraih apa saja dengan gaji yang dimiliki. Tidak apa tak hidup mewah asal semua tercukupi. Berharap tidak ada masalah yang mengampiri dirinya yang suka berkecil hati. Namun kini, Ian membayangkan dirinya sedang mengenggam tangan Aksel yang ukuran telapaknya membuat hati bergelitik.

Sudut bibirnya naik. Padahal tadinya ia tengah membayangkan dirinya yang hidup sukses di masa depan, namun menghilang begitu saja karena ada Aksel yang tiba-tiba mengetuk pintu di otaknya. Tapi, kalau memang ia berkesempatan menggenggam tangan mungil Aksel, nungkin dirinya tidak akan mencuci tangan selama satu bulan.

Arah kedua mata kembali fokus ke arah papan. Memperhatikan sang dosen yang sedang menjelaskan di depan. Kepala Ian menduduk lagi. Entah mengapa sesekali bayangan Aksel melintas di dalam pikiran. Agak sedikit membuatnya tidak fokus, namun senangnya Ian serasa ditemani karena mata kuliah tersebut tidak diambil oleh teman-teman dekatnya. Anggap saja dengan memikirkan Aksel membuat Ian tidak merasa kesepian.

Seusai mata kuliah, Ian berdiam sebentar di dalam kelas. Ia menggulir layar ponsel, membaca pesan grup yang terus masuk. Ada dari kepanitiaan, kelas, dan pesan dari sekawanannya. Diantara mereka memberitahu Ian jika memungkinkan untuk menyusul ke tempat yang dimaksud, sepertinya ajakan makan siang.

Sebelum Ian pergi, ia sempat mengecek ruang obrolannya bersama Aksel. Pesannya belum dibaca semenjak tadi pagi. Ada niat ingin mengirim pesan lagi untuk mengajak makan siang bersama, tetapi sepertinya ia urungkan dulu. Maaf, Ian tidak terlalu percaya diri. Ia takut akan penolakan.

Tempat yang diberitahu Teja merupakan kafe di sekitar daerah kampus. Lokasinya tidak begitu jauh. Setidaknya sekitar 5 menit Ian sudah sampai dan memarkirkan motornya dengan rapi di tempat parkir. Kafe tampak masih belum ramai namun ia dapat melihat wajah-wajah familiar.

Ian masuk ke dalam, mencari tempat dimana kawannya berada. Dari kejauhan, Ian dapat melihat Nathan dan Teja sedang duduk anteng di sudut ruangan. Ada seorang perempuan juga yang duduk membelakangi. Segera Ian berjalan menghampiri mereka.

"Cepet banget lu sampe ke sini." Teja lebih dulu menyambut Ian dan menepuk tempat di samping untuk Ian tempati.

Sempat Ian terkejut melihat Jelita duduk berhadapan dengan Nathan. Perempuan itu kan temannya Aksel dan apa mungkin ada Aksel juga?

"Kok bisa lu pada kumpul bareng? Janjian?" Tanya Ian penuh rasa penasaran.

"Abis kerja kelompok gua." Nathan menjawab dan Ian yang langsung tersenyum lebar.

"Kenapa lu?" Tanya Nathan dengan tatapan ngeri. Ian menggeleng saja dan bangkit untuk memesan.

Dari tempatnya berdiri—Ian mengantre menuju kasir—dapat melihat kursi kosong di samping Jelita. Bukan kah itu tas ransel milik Aksel? Tapi, lelaki manis itu pergi kemana? Batang hidungnya tidak kelihatan. Ian sudah selesai memesan pun Aksel tampaknya belum kembali.

"Lu udah pada pesen?" Ian kembali bertanya karena tidak melihat makanan selain minuman. Ada sih camilan seperti kentang goreng, mungkin sisa dari kerja kelompoknya Nathan bersama teman-teman.

"Udah, belum dateng."

"Eh, maneh can mayar top-up ml ka aing ajig!" (Eh, kamu belum bayar top-up ml ke aku!)

Kedua mata Teja membola. Bisa-bisanya Ian menagih di hadapan Jelita. Mau dimana lagi ia memasang wajah tampannya ini?!

"Ngke we. Meni sakitu mah gampil. Ngke ge ku urang dibayar. Maneh tong sok kitu ka babaturan teh, Yan." (Nanti aja. Segitu doang mah gampang. Nanti juga aku bayar. Kamu jangan kaya gitu kalo ke temen, Yan.)

sangkala bersama - jeongbbyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang