02. New Life

10.2K 497 5
                                    

Dan di sinilah Dito dan Fania sekarang, duduk di kantin rumah sakit yang sudah sangat sepi seperti orang bodoh. Mereka berdua saling mencuri tatapan.

"Sekarang kita harus gimana, Dit?" tanya Fania dengan raut muka memelas.

"Ya nggak gimana-gimana. Kamu pelan-pelan aja pindahnya," jawab Dito dengan santai.

Fania yang tidak mengerti dengan ucapan Dito itu menanggapi dengan bodoh. "Hah? Maksudnya?"

Dito berdecak.

"Pindah ke apartemenku, Fan," ujar laki-laki itu dengan nada yang tidak ikhlas. "Aku punya rumah, tapi masih dibangun dan kita nggak bisa tinggal di rumah yang belum jadi, kan?"

"Dit, kamu kok santai banget, sih!" protes Fania yang mulai berang. "Ini kita dipaksa menikah loh!"

Benar, mereka terpaksa menikah. Bahkan saat proses akad pun mereka hanya mengenakan pakaian seadanya yang sudah bau keringat karena belum ganti sejak pagi. Benar-benar pernikahan terburuk yang tidak pernah Fania bayangkan akan ia alami.

"Kamu maunya gimana, Fan? Walaupun belum sah secara hukum, aku udah sah jadi suami kamu secara agama. Nggak baik kalau tinggal pisah. Aku juga nggak mau ambil risiko. Jadi, tolong, jangan mempersulit keadaan dengan minta pisah rumah," kata Dito dengan tenang. "Kalau kamu keberatan, harusnya kamu tolak sebelum aku mengucap ijab qobul tadi."

"Dan bikin papaku sedih terus tambah sakit? Nggak mungkin aku tega ngelakuin itu."

Fania mencebik. Ia memang tidak tega menolak permintaan papanya. Fania adalah anak penurut yang jarang sekali membantah ucapan orang tua. Ya, meski awalnya ia memang sudah berusaha untuk menggagalkan pernikahan kilat itu dengan berbicara empat mata dengan Dito yang tentu saja tidak berhasil karena Dito tidak berniat untuk menolak permintaan para orang tua.

"Ya udah, terima aja status kamu sekarang." Dito menekuk lengan, menggunakan siku sebagai tumpuan di atas meja dan menyangga kepalanya dengan telapak tangan.

"Tapi, Dit—" Fania tidak bisa menyelesaikan kalimatnya dan kembali menatap Dito dengan memelas.

"Kamu tenang aja, aku nggak akan langsung mendaftarkan pernikahan kita," ujar Dito yang membuat mulut Fania menganga lebar tidak percaya.

"Jadi maksudnya kita nikah siri?!" pekik Fania tak bisa ditahan.

Kata siri terasa begitu mengerikan di kepala Fania. Tidak pernah ia sangka akan menyandang status siri. Dan Fania sangat tidak menginginkan itu. Dito sudah gila kalau menjadikan dia istri siri.

"Ya kamu maunya gimana?" tanya Dito dengan sabar. "Kalau mau aku bisa langsung daftarkan besok mumpung aku jaga malam."

Fania menimbang-nimbang. Membayangkan dirinya menikah tapi secara siri membuatnya risih. Meski ia tidak menyukai pernikahan ini, namun lebih baik kalau statusnya jelas di mata hukum.

"Aku nggak mau kalau cuma dinikahi siri! Gila kalau kamu kepikiran sampai ke situ! Aku laporin ke mama papa kalau kamu sampai berani jadiin aku istri siri!"

Dito menatap mata Fania. Membaca ekspresi yang ditampilkan nata itu. Namun tidak menemui apa-apa.

"Calm down, Fania. Kalau gitu besok kita bisa mulai urus surat-suratnya. You don't have to worry that much. Aku juga nggak berniat jadiin kamu istri siri." Dito berhenti sejenak sebelum kembali berkata, "Tapi, Fan, kamu yakin, kan?"

"Iya," desah Fania, "tapi kamu yang urus."

Dito tersenyum tipis. "Oke."

"Terus masalah pesta itu gimana?" tanya Fania.

NIKAH KONTRAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang