6. Like a Flower

296 49 69
                                    

Dua bulan berlalu...

Begitulah hari-hari yang dialami gadis Jung di apartemen Jimin, banyak menghabiskan waktu bersama Jimin dibandingkan waktu seorang diri. Sejujurnya, meski Jimin rutin mengurus kafe, ia jarang merasa kesepian sebab pria manis itu pandai membagi waktu. Merasa telah diprioritaskan tentu hadir dalam dirinya.

Sedikit banyak, Park selalu berusaha membuat senyum Millie muncul ke permukaan, diberi pakaian layak, makanan sehat yang cukup, dan selau menanyakan apa keinginan gadis Jung saat ini yang harus dikabulkan.

Keinginan Millie hanya pulang ke rumah, menjalani kehidupan pribadinya seperti biasa, bukan dengan cara seperti ini. Mau senyaman apapun, hal begini tetap patut disalahkan.

Semua dipenuhi oleh Jimin kecuali yang satu itu. Jauh dalam lubuk hati Millie, ia masih belum bisa menemukan arti dari kebahagiaan meski tempatnya yang sekarang tergolong nyaman. Pergerakan Millie terbatas dan tidak bebas, situasi seperti ini lah yang kurang ia sukai.
Sebab itu pula, menjadikan Millie tak bisa mengukir tawa lepas atau sekedar senyum tulus. Sungguh Millie merindukan masa-masa dahulu.

Kendati tidak lagi meminta pulang dan berusaha untuk keluar dari apartemen Jimin,  'pulang ke rumah' adalah harapan besar yang Millie harapkan agar lekas dikabulkan Tuhan. Millie diam bukan berarti berputus asa, kalau suatu hari nanti ada celah sedikit saja maka ia akan gunakan celah itu sebaik mungkin untuk melarikan diri. Sekarang biarkan lah ia mengikuti setiap permainan yang Jimin ciptakan, bagaimana pria itu menginginkannya sebagai pajangan. Sampai berapa lama Jimin akan bermain dengannya seperti ini.

Millie sudah jauh lebih ikhlas, tetapi bukan berarti menyerah. Asal Jimin tidak pernah memukul atau pun membentaknya, itu sudah cukup bagi Millie.

Ada kala, sekiranya Jimin terlihat mulai menunjukkan emosi yang disebabkan oleh keras kepalanya Millie, maka dengan sengaja perempuan itu langsung memeluk guna meredakan api.

Emosi Jimin akan padam jika mendapatkan pelukan. Sepertinya Jimin itu sangat suka dipeluk.

Jarum jam terus berdenting, sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Tidak lama ini Jimin meminta izin untuk mencuci bekas peralatan makan yang mereka gunakan untuk sarapan. Dalam lamunan, suara pintu kamar berhasil mengusik rungunya. Tanpa melihat pun Millie tahu jikalau yang masuk ke kamar itu adalah Jimin. Kini sang pria duduk tepat di sampingnya yang sedang memandang lurus ke arah depan. Gadis bermarga Jung menatap objek di hadapannya dengan tatapan kosong, sembari memeluk kedua lutut.

Sorot mata Jimin memperhatikan seksama apa yang melekat di tubuh Millie, sejauh ini ia mendapatkan hal berupa;tatapan mata sendu yang sedari tadi tidak melirik untuk sekedar menggubrisnya. Kulit pucat dan kering, rambut panjang yang berantakan seperti tidak pernah disisir, kantung mata, dan cat kuku yang sudah memudar dan mengelupas. Oh tidak, Jimin harus memperbaiki Millie agar kembali seperti semula. Ia tidak mau membuat Millie seakan tersiksa, walaupun sebetulnya gadis itu telah mengalami tersiksa batin.

Lengan Park tergerak untuk mengusak rambut Jung penuh sayang. Ia memiliki banyak ide untuk mereka lakukan seharian ini, hitung-hitung agar Millie tidak bosan berada di sini.

"Mau ke halaman belakang?" Suara Jimin mengudara dengan lembut nya.

Millie diam untuk berpikir sejenak, mau apa lagi si Jimin ini pikirnya "Untuk apa?"

"Kulitmu agak pucat, kau harus bertemu dengan sinar matahari. Halaman belakang adalah tempat yang bagus untuk berjemur." Jimin sudah menarik pelan kedua lengan mungil kesayangan.

Heum, dasar pemaksa. Mau tak mau Millie harus segera ikut bangkit. Mengiringi setiap langkah Jimin. Pergelangan tangan mungilnya tak luput dari pegangan erat, mungkin Jimin khawatir apabila Millie akan lari dari sana jika pegangan tersebut terlepas.

STOCKHOLM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang