Berdampingan dengan Keberagaman

144 0 0
                                    

Pernah dengar istilah Unity in Diversity kan? Mungkin lebih familier dengan Bhinneka Tunggal Ika? Ya, intinya sih sama saja. Merasa keren kan kalau mendengar istilah itu? Kita merasa bahwa sebagai orang Indonesia yang memiliki berbagai macam keberagaman, kita mampu menjadi satu.

Tapi apakah kita memang mampu menjadi satu di dalam keberagaman tersebut?

Kemampuan untuk bertahan dan menyesuaikan diri di antara keberagaman yang ada merupakan sebuah kompetensi yang wajib dimiliki oleh setiap orang. Apalagi kita hidup di antara perbedaan yang sangat beragam. Pemaparan tentang keberagaman yang akan saya jelaskan ini merupakan hasil dari saya mengikuti Pelatihan Sosiokultural Angkatan 3 yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada tanggal 28 Agustus sampai dengan 3 September 2022 di Yogyakarta. Tujuan dari pelatihan tersebut adalah untuk membentuk seseorang menjadi lebih adaptif di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dan dapat menyesuaikan dengan berbagai lingkungan.

Menyinggung persoalan keberagaman atau kemajemukan, di Indonesia selalu dikaitkan dengan SARA, yaitu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Ini tentu wajar mengingat Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa.

Di Indonesia, ada enam agama yang diakui negara, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu karena Indonesia memiliki Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama tertentu dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Pasal tersebut jelas menerangkan hal yang sama dengan sila pertama Pancasila yang menyatakan dasar negara Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi kebebasan dalam beragama karena hal tersebut sudah dijamin dalam UUD NRI 1945.

Unsur kemajemukan lain di Indonesia adalah Ras. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik; rumpun bangsa. Ras merupakan klasifikasi yang digunakan untuk mengategorikan manusia melalui ciri fisik dan asal usul geografis. Ada beberapa ras yang tersebar di Indonesia, di antaranya ras Malayan-Mongoloid yang berada di Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, dan Sulawesi. Ras Melanesoid mendiami wilayah Papua, Maluku, dan juga Nusa Tenggara Timur. Selain itu, ada juga ras Asiatic Mongoloid yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, seperti orang Tionghoa, Jepang, dan Korea. Terakhir, ada ras Kaukasoid-Indic, yaitu orang-orang India, Timur-Tengah, Australia, Eropa, dan Amerika.

Dalam masyarakat multikultural, keberagaman golongan bisa terjadi secara vertikal dan horizontal. Untuk vertikal, terdapat hierarki lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Contohnya status sosial, pendidikan, jabatan, dan sebagainya. Secara horizontal, anggota golongan umumnya setara dan tidak ada hierarki, tetapi perbedaan terjadi karena adanya anggota kelompok masyarakat tertentu yang menganggap dan merasa golongannya paling benar sehingga merendahkan golongan lainnya. Contoh nyata adalah hal-hal terkait agama, idealisme, dan adat-istiadat.

Meskipun ada undang-undang dan dasar negara yang mengatur hal tersebut, seperti yang dikemukakan tadi, mengapa masih saja terjadi diskriminasi? Di antara kita, masih ada yang merasakan diskiriminasi gegara warna kulit. Misalnya peristiwa yang menimpa seorang warga kulit hitam di Amerika Serikat bernama George Floyd pada bulan Mei 2020 lalu yang tewas karena lehernya diimpit lutut oleh seorang petugas polisi kulit putih. Kemudian dari peristiwa inilah muncul gerakan anti-rasisme yang dikenal dengan Black Lives Matter.

Kita tentu bertanya-tanya, mengapa sih masih ada kasus-kasus seperti itu?

Permasalahan tersebut tidak terlepas dari tantangan yang dihadapi dunia pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya. Tantangan yang dimaksud di antaranya meliputi:

· Etnosentris, yaitu paham yang meyakini bahwa budaya dan kepercayaan sendiri adalah lebih baik dari budaya dan kepercayaan lain.

· Xenofobia, yaitu ketakutan atau kekhawatiran ekstrem pada orang asing di luar ras atau kelompok budayanya.

· Rasisme, yaitu penilaian diskriminatif terhadap orang berdasarkan ras dan warna kulitnya.

Untuk menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan budaya pop atau budaya massa yang demokratis dan egaliter sehingga orang-orang dapat menghargai kemajemukan.

Pada awal abad ke-20, seorang ahli antropologi modern bernama Franz Boas menggunakan dan mengembangkan konsep Relativisme Budaya yang kemudian konsep tersebut dipopulerkan oleh beberapa mahasiswanya. Relativisme Budaya adalah sebuah pemahaman bahwa semua budaya, kepercayaan, adat, dan etika adalah relatif dalam konteks sosial tertentu sehingga tidak ada budaya yang superior atau inferior. Meskipun Boaz sendiri tidak menggunakan istilah itu, tetapi istilah tersebut menjadi umum antar ahli antropologi setelah kematian Boas tahun 1942. Istilah tersebut pertama kali digunakan dalam jurnal Antropologi Amerika tahun 1948; yang isinya merepresentasikan bagaimana murid-murid Boas meringkas dari berbagai prinsip pemikiran Boas.

Relativisme budaya ini merupakan salah satu bagian dari penolakan terhadap etnosentrisme Eropa yang menganggap bahwa kesenian Eropa adalah yang paling tinggi atau sempurna. Nah, konsep relativisme budaya ini mampu membantu memperluas pemahaman bahwa tidak ada budaya yang lebih unggul daripada budaya lain. Konsep ini dianggap dapat juga mengatasi paham etnosentris, xenofobia, dan rasisme. Dengan begitu, paham ini pun akan dapat mengatasi tantangan terhadap kemajemukan masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global.

Sebenarnya, perihal keberagaman ini termuat juga dalam Alquran; sebagaimana disebutkan tentang keberagaman iman yang tercantum dalam Surat Yunus ayat 99. Berikut terjemahannya,

"Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?" (QS. Yunus, 99)

Lalu ada juga tentang keberagaman suku yang tercantum di dalam Surat Al Hujarat ayat 13:

"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti." (Al Hujarat; 13)

Selain itu, ada juga tentang keberagaman tumbuhan, yaitu di dalam Surat Al-An'am ayat 141:

"Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apabila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan" (al-An'am: 141)

Hal ini membuktikan bahwa keberagaman merupakan sebuah sunatullah alias ketetapan Allah yang tidak dapat ditolak atau dihindari. Justru upaya-upaya penyeragaman dengan cara memaksakan kehendak dan paham yang diyakini kepada orang lain merupakan tindakan yang bertentangan dengan ketetapan Tuhan.

Karena itulah Allah memerintahkan kita sebagai umatnya untuk memelihara keberagaman. Hal tersebut pun tercantum di dalam Surat Al-An'am ayat 108:

"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan" (QS. Al-An'am 108)

Merujuk pada ayat-ayat tersebut, sudah sepatutnya kita sebagai manusia yang pada dasarnya adalah insan sosial yang perlu bersosialisasi harus menerima perbedaan dan saling menghargai.

Zaman yang terus berkembang akan membawa konsekuensi berkembang pula pemikiran-pemikiran manusia; tentu akan semakin banyak dan beragam pemikiran yang berbeda. Sudah merupakan keharusan bagi kita untuk terus belajar berbagai hal agar memiliki pemikiran dan pemahaman yang terbuka dan dapat menerima dan menghargai perbedaan.

Jangan jadikan perbedaan sebagai penghalang untuk menjalani kehidupan. Keberagaman adalah hasil karya Tuhan yang tidak perlu diperdebatkan. Keanekaragaman justru membukakan cakrawala betapa luas dunia ilmu dan pengetahuan untuk digali dan dikolaborasikan sehingga dapat memberikan manfaat.

Berdampingan dengan KeberagamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang