"Aku pembunuh? Bukan... Aku tidak pernah membunuh, bahkan tidak dengan kedua tanganku sendiri. Itu bukan aku, jadi kumohon jangan salahkan aku."
-Arka Gerald Aezeno-•••••
Arka Gerald Arzeno, seorang anak laki-laki berumur 8 tahun. Ia terlihat sedang duduk di kursi tunggu ruang ICU. Matanya berlinang air mata yang siap tumpah kapan saja. Pandangannya mengarah ke kakinya yang terlihat terluka, tapi bukan itu yang ia tangiskan. Arga Gerald Alister, Kakak kembarnya harus mengalami kecelakaan akibat dirinya yang ceroboh.
Membuat dirinya sekarang berada di ruang ICU. "Arga..." lirihnya terisak kecil. Orang tuanya berjalan mondar-mandir dihadapannya, merasa cemas dengan keadaan Arga.
Esti, sang Ibu tak kunjung diam. Ia terus merasa gelisah dan cemas. Ia mengigit ujung kukunya, menatap cemas ke arah pintu ruang ICU. Ia hanya bisa berdoa untuk keselamatan putranya.
Hendra duduk di samping Arka, mengusap pelan kepala anaknya itu. "Arka tenang saja sayang, semua ini bukan salah Arka. Arga juga pasti selamat..."
Bohong, Arka tahu Ayahnya berbicara seperti itu untuk menenangkannya. Tapi dia tidak bisa ditipu hanya karena hal itu. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, tubuh Arga yang terpelanting jauh dari kejadian dan darah yang mengalir di tubuhnya. Namun ia berusaha mendengar ucapan Ayahnya, percaya dengan kata-katanya. Berharap semua perkataannya itu benar.
Sebelum harapan itu pupus begitu saja setelah Dokter Erman yang menangani Kakaknya keluar dari ruang ICU. Esti langsung menghujamkan dengan pertanyaan-pertanyaannya. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?"
"Anak saya selamatkan, Dok? Jawab, Dok. Bagaimana keadaan anak saya!" Esti mencengkram kerah Dokter Erman. Ia merasa cemas melihat raut wajah sang Dokter.
"Tenang sayang! Dokter akan menjelaskannya." Hendra membantu Dokter Erman untuk lepas dari cengkeraman Esti.
Dokter Erman terlihat diam sesaat menatap sendu ke arah pihak keluarga korban. "Saya turut berdukacita. Maaf, anak Bapak dan Ibu tidak bisa kami selamatkan. Anak Bapak dan Ibu kehilangan banyak darah dan mengalami benturan hebat di kepalanya." Mendengar kata-kata itu, Esti terduduk lemas. Ia tidak sanggup mendengar putra kesayangannya meninggalkannya begitu saja.
"Bohong! Dokter bohong. Anak saya pasti selamat Dok! Dia pasti selamat." histerisnya, air matanya yang tadi berhenti mengalir, sekarang tak bisa ia bendung lagi. Hendra menangis mendengarnya, ia harus kehilangan putranya.
"Tolong selamatkan putra saya, Dok! Selamatkan dia. Dia pasti selamat, Dok!" seru Esti frustasi. Hendra berusaha menangkan istrinya, ia juga merasa sangat sedih tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Pandangan Esti langsung mengarah ke arah Arka yang sedang menangis, ia berjalan mendekatinya dengan lunglai. "Gara-gara kau, Putraku meninggal! Gara-gara kau!" histerisnya sambil menunjuk kearah Arka. Padahal dia juga putranya, tapi Arga lebih disayang olehnya.
"Sayang tenang, Arka juga putra kita. Ini sudah takdir Yang Maha Kuasa. Kita tidak bisa melawan takdir." Hendra memeluk tubuh Esti yang berniat menarik tubuh mungil Arka.
"Dia membuat putra kita meninggal, Hendra! Gara-gara dia, Arga meninggal! Kalo saja putraku tidak menolongnya. Dia ngak akan ninggalin kita, Hendra! Kau harusnya tau itu!" serunya berusaha melepaskan pelukan Hendra yang menahannya.
Hendra memegang bahu Esti dan mengarah untuk menatapnya. Ia menangis dalam hati melihat istrinya seperti ini. "Esti! Sadar. Dia anak kita juga. Aku juga sedih atas kepergian Arga. Tapi bagaimana pun juga, dia adik Arga, wajar dia menolongnya. Ini sudah takdir Tuhan. Kita tidak bisa menyalahkan pada Arka!"
Arka hanya meringkuk di kursi, ia gemetar ketakutan. Ia merasa semuanya salahnya, seakan ucapan Ibunya itu adalah kebenaranya. Ia menangis dalam diam, menunduk menyembunyikan wajahnya.
"Tapi dia yang buat Arga meninggal. Seharusnya dia yang diposisi Arga! Arga seharusnya tidak pergi. Dia yang hiks..." Esti tak sanggup berkata-kata lagi. Setelah itu ia jatuh pingsan. Beberapa perawat yang lewat, membantu Hendra untuk membawa Esti yang pingsan.
Arka masih duduk dengan posisi meringkuk. Tangisnya tak terdengar, seakan ia tak menangis sama sekali. Padahal air matanya sudah banjir sejak tadi, bahkan celananya basah oleh air matanya.
"Arga ..."
Ia tetap berada disana, sedangkan Ayahnya mengurus Ibunya dan juga mengurus pemakaman untuk Kakaknya. Ia merasa ada sesuatu dalam dirinya yang menghilang. Seakan dia tidak lengkap lagi.
"Benar kata Ibu, harusnya aku yang ada diposisi Arga. H-harusnya Arga tidak usah menolongku." Arka tidak bisa menahan suaranya lagi, ia meraung.
Sebuah pelukan hangat memeluk tubuh mungilnya. "Arka jangan berkata seperti itu..." Suara lembut menyapa indra pendengarnya. Ia sangat kenal suara ini. Arina, sang Nenek yang sekarang sedang memeluknya tubuh mungilnya.
Arina baru saja datang setelah mendengar kabar kecelakaan cucunya. "T-tapi nek. Mama bilang..." Arka tak sanggup melanjutkan perkataannya. Ia hanya bisa menangis dalam pelukan sang nenek.
"Tidak ada yang akan menyalahkan mu, nak. Ini semua takdir! Tuhan lebih sayang dengan Arga. Jadi ia memanggilnya lebih dulu." Elusan pelan dari Arina membuat Arka semakin merasa ingin meluapkan semua tangisannya.
"Kenapa Nek? Kenapa harus Arga? A-arga anak yang di sayang Mama. Kenapa harus Arga yang dipanggil duluan, Nek. Arga lebih disayang Mama daripada Arka. Apa Tuhan juga tidak sayang dengan Arka? Jadi Tuhan juga memanggil Arga terlebih dulu?" tangisnya sambil memeluk erat Arina. Ia menumpahkan semua perasaannya kedalam tangisan.
Arina hanya diam mendengarkan, ia tak tau harus bicara apa lagi. Tak ada kata-kata penenang di saat seperti ini. Hanya diam dan memberi sebuah sandaran yang dibutuhkannya saat ini. Ia terus mendekap tubuh mungil itu, seakan bisa hancur kapan saja jika dia lepas.
Arka terus menangis hingga dia terlelap dalam dekapannya. "Kau harus kuat nak..."
Itulah yang dia dengar dari Neneknya sebelum ia benar-benar terlelap.________________
~ Vote & Coment
KAMU SEDANG MEMBACA
Sang Lentera
RandomArka harus menanggung semuanya sendiri. Dibenci sang Ibu, tidak dipedulikan oleh sang Ayah, dicampakkan oleh kekasihnya dan di khianati oleh sahabatnya. Seakan ia tidak diperbolehkan untuk bahagia. Semuanya selalu ia pendam sendiri, tidak ada tempat...