7. Dua Orang dengan Bekas Luka di Punggung

2 0 0
                                    

Ia memasuki rumahnya yang dengan tumbennya tak kesepian. Dapat ia dengar suara percakapan yang untungnya bukan dibuat oleh dua orang yang saling berbalas umpatan. Ia melewati ruang tengah dan menemukan kakaknya bersama dengan dua temannya tengah bergurau. Dapat ia temukan wajah kesal kakaknya yang berbang terbalik dengan seorang temannya yang tampak tertawa terbahak-bahak, sedangkan satu lainnya tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya sudah merasa lelah dengan kelakuan yang lainnnya.

"Dan" sapa yang tadinya sedang tertawa kepadanya.

"Bang" sahutnya pada si pemuda berkaos abu-abu itu.

"Makanan ada di meja ya Dan" ucap kakaknya yang dijawab anggukan olehnya.

Ia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Dari lantai atas suara tawa dari lantai bawah masih terdengar. Ia masuk ke kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat. Pintu itu mencoba untuk menjegal semua suara di luar sana untuk masuk, tapi tetap saja suara teman kakaknya yang tertawa dan suara kakaknya yang mengomel masih terdengar samar-samar.

Ditaruhnya tasnya di atas meja belajar, tempat yang tak seharusnya, tapi si tempat sudah terbiasa dengan itu. Ia membuka lemari pakaiannya dan mengambil sepotong kaos hitam polos dan celana kain selutut. Ketika ia mencoba mengganti pakaiannya, tak sengaja dilihatnya luka di punggungnya lewat cermin di lemari. Ia menghela napasnya dan segera mengenakan pakaiannya. Sudah setahun lebih kejadian itu ditinggalkannya di belakang. Namun tetap saja rasa sakitnya belum sepenuhnya lenyap. Mungkin rasa sakit di punggungnya telah hilang, tapi rasa sakit di hatinya tak kunjung pudar.

Ia menaruh seragamnya di keranjang pakaian kotor lalu keluar dari kamarnya. Dituruninya tangga dengan ditemani suara tawa dan suara omelan dari arah ruang tengah. Saat berjalan menuju dapur ditemukannya salah satu teman kakaknya sedang di duduk di meja makan, sibuk memainkan poselnya. "Bang Rion" sapanya pada pemuda yang terlahir lebih dulu daripadanya itu.

Yang disapa menoleh. "Dan" balasnya dengan senyuman.

"Numpang ngungsi dulu ya, capek liat mereka berantem terus" keluh yang ada di sana terlebih dulu.

Si tempat mengeluh yang sedang mengambil piring di rak tertawa kecil. "Biasanya juga gitu, kalo mereka nggak berantem berarti ada yang sakit" mulutnya menyahut sedangkan tangannya sibuk mengambil makanan di meja dan menaruhnya di piring.

"Mau ikut ke atas nggak bang? Masih brisik kan kalo di sini?" Tawar manusia dengan piring yang penuh makanan di tangannya.

"Boleh deh" pemuda yang ditawari menyimpan ponselnya di saku lalu berdiri dari duduknya.

Si dua pemuda pengisi ruangan berjalan pergi meninggalkan tempatnya. Mereka menaiki tangga sembari mendengar suara-suara ribut dari ruang tengah. "Brisik banget!" Keluh yang lebih tua. Yang lebih muda tertawa, apalagi setelah melihat yang lebih tua mengerucutkan bibirnya. Rion tuh muka sama umurnya nggak sesuai, umurnya sudah 18 tapi wajahnya masih seperti anak usia 8 tahun. Bahkan Danu tak yakin wajahnya ketika masih kecil selucu wajah Rion sekarang.

Mereka masuk ke dalam salah satu ruangan di lantai atas. Ruangan milik yang lebih muda. "Ini pintunya ditutup nggak papa kan?" Tanya yang lebih tua.

"Nggak papa bang, tutup aja biar yang lagi ribut nggak kedengeran" jawab si pemilik ruangan.

Yang dijawab menganggukan kepalanya lalu menutup pintu di depannya. Ketika ia berbalik, ujung matanya tak sengaja bertemu dengan salah satu rangkaian kayu di ruangan itu. Si pemilik mata menghela napasnya. "Berantakan banget meja belajarmu" keluhnya. Sang pemilik meja yang sedang duduk bersila di lantai hanya tertawa kecil.

"Ku beresin ya?" Tawar si pengeluh.

"Waduh bang, nggak usahlah, ngerepotin" tolak si pemilik meja.

"Nggak papa kali" si penawar mendekati meja belajar yang tadi ia keluhkan itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

By WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang