Kebakaran

243 68 302
                                    

🔥

Mobil polisi dan pemadam kebakaran berjejer di sepanjang jalan masuk komplek perumahan Tulip II. Sirine ambulans menambah hiruk pikuk percakapan seputar kebakaran yang terjadi di dalam rumah putih peninggalan bangunan Belanda.

Aku menghela napas berat, mengeratkan cengkraman pada buku binder A6 di dekapan. Pikiranku berkelana, di saat sorot mataku tertuju pada kepulan asap yang masih keluar dari celah atap yang sudah rusak. Aku membayangkan peristiwa kebakaran, menerka apa yang terjadi sebelum api menyala di rumah itu.

Rintik hujan jatuh di kepala, membuatku mendongak, melihat ke atas. Awan mendung memenuhi cakrawala, menenggelamkan cahaya matahari sore. Kedua mataku mengerjap cepat, tatkala bulir hujan menetes.

Ponselku bergetar. Merogoh kantong celana jeans, aku melihat nama Meisya tertera di layar. "Halo Sya." Aku mengernyitkan kening, serta meringis pelan saat mendengar bunyi bising dari seberang telpon. Suara mengganggu itu terdengar seperti troli yang ditarik di atas lantai.

"Gue nggak bisa datang ke lokasi Ra. Kakak gue lahiran. Sekarang gue ngurus surat-suratnya di rumah sakit," ujar Meisya di seberang telpon.

Aku menghela napas berat.

Sebenarnya aku juga tidak ingin menginjakkan kaki di tempat kejadian perkara. Terlebih peristiwa ini memakan korban jiwa. Ditambah mayat korban belum keluar dari lokasi kejadian. Apa boleh buat, aku dan kelompokku mendapatkan tugas untuk meliput berita Hard News. Jenis berita yang berisikan informasi mengenai peristiwa khusus yang terjadi secara tiba-tiba.

Tapi keadaan Meisya memang lebih darurat daripada rasa kemalasanku. Jadi alasannya tidak datang ke lokasi kejadian bisa diterima.

"Iya nggak papa, Sya. Nanti lo bantu edit atau mm..." gumamku pelan. "Atau lo nanti bisa bantu yang lain aja. Bagian yang belum dikerjakan," sambungku.

"Sip Ra. Nanti gue tanya ke Caelum aja ya. Bagian mana yang belum kalian kerjakan."

Tanya ke Cael? Mengapa Meisya tidak bertanya padaku saja? Heh....

Apa benar, semua gadis di kelasku mencari segala cara untuk bisa dekat dengan pria blasteran itu? Memang sih, Cael tampan. Tapi....

"Udah ya Ra, gue tutup teleponnya," ucap Meisya, memotong lamunanku.

"Semoga lancar dan sehat-sehat buat kakak lo, Sya."

"Kenapa si Meisya?" tanya Jaka dari arah sebelah kananku. 

Aku kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celana. "Dia nggak bisa datang ke sini. Kakaknya lahiran, jadi dia ngurusin kakaknya gitu di rumah sakit."

"Oh..." gumam Jaka sambil mengangguk kecil. Pemuda berambut cepak itu membuka tas berisikan kamera. Ia menyangkutkan strap ke leher, lalu menoleh ke arahku.  "Lo rekam audio pake hp aja ya. Lama banget nih yang lain," ujarnya sambil melihat ke arah gerbang.

"Kita liputan kayak yang di Tv?" tanyaku sambil menggaruk kepala. "Gue nulis jurnal aja deh, Jak," imbuhku terdengar memelas. Aku tidak terlalu percaya diri tampil di layar. Selain itu, aku juga tidak tahu akan mengatakan apa nantinya.

Jaka menghela napas berat. Keningnya mengernyit dalam. Serta sebelah alisnya terangkat sebelum berujar, "Kita coba aja dulu sambil nunggu yang lain." Ia mengangkat telunjuk, mengarahkannya pada area pekarangan yang bisa dikatakan ramai oleh warga. "Kita wawancara warga sekitar. Lu juga dari tadi di sini, jadi bisa nambahin keterangan."

Area pekarangan rumah yang lebarnya sekitar empat meter persegi, semakin ramai oleh orang-orang yang datang untuk melihat kejadian. Jurnalis yang berstatus swasta, freelancer dan stasiun TV lokal juga mulai berdatangan. Berbaur dengan kerumunan para warga yang kepo.

J⃨e⃨j⃨a⃨k⃨ 𝗦𝗲𝘁𝗮𝗽𝗮𝗸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang