🚘
Tiga hari setelah peristiwa, aku mulai mengumpulkan fakta umum yang memicu kebakaran. Api berasal dari korsleting arus listrik di kamar bayi, lalu merambat ke dapur melalui plafon yang mudah terbakar. Ketika itu, api kompor yang menyala memancing kobaran api semakin besar. Hanya dua ruangan itu yang terbakar parah. Sedangkan ruangan lainnya tak tersentuh api.
Jika dilihat dari perspektif dangkal yang aku miliki, mana mungkin bisa kobaran api seperti itu hanya menghanguskan dua ruangan di dalam rumah? Meskipun begitu, investigasi lebih dalam akan dilakukan jika keluarga korban memintanya.
Masalahnya, keluarga korban susah dihubungi.
Yang menjadi korban jiwa pada peristiwa naas itu adalah Ibu Kartika dan Zoe, balita berumur delapan belas bulan. Sang ibu yang biasanya bekerja, hari itu memutuskan untuk cuti. Sedangkan dua wanita berumur pertengahan tiga puluhan yang bekerja dengan Ibu Kartika, tidak berada di rumah pada saat peristiwa itu terjadi.
Babysitter yang mengasuh anak Ibu Kartika absen bekerja, lantaran sang ibu berada di rumah. Sedangkan pembantu rumah pergi ke klinik hewan untuk membawa kucing peliharaan almarhumah.
Marvel, anak berumur enam tahun yang menjadi korban selamat, telah dirujuk ke rumah sakit. Tidak ada luka fisik, namun luka mentalnya perlu menjadi perhatian.
Meskipun aku tidak pernah bertemu dengan anak itu, aku merasa kasihan padanya.
Aku menghela napas kecil, lalu mengklik tombol enter. Mengirim laporanku ke email Meisya agar ia bisa mulai menulis jurnal berita online. Aku menutup laptop, lalu menoleh, menatap Tante Ema yang duduk di sebelahku.
Telepon genggam masih di telinganya. Sudah lebih dari setengah jam tanteku itu menelpon. Dua hari ini, Tante Ema juga sibuk membantu dalam mengurus surat kematian di rumah sakit. Ia bahkan mendampingi Marvel ke psikolog anak.
Aku mendengar gumaman persetujuan sebelum Tante Ema menutup telepon. "Tante barusan telpon pihak keluarga dari mantan suami Almarhumah Ibu Kartika."
Keningku berkerut mendengar mantan suami almarhumah. "Oh, jadi mereka udah cerai, gitu Tan?"
Tante Ema mengangguk. "Yang bicara itu kakak perempuannya. Jadi dia bilang kalau mantan suaminya, hmm..." tanteku menggaruk lehernya. "Ayahnya Marvel itu kerja di luar negri. Sedangkan keluarga Almarhumah itu semuanya di Sulawesi. Mereka lusa baru bisa datang ke sini. Yang dekat hanya keluarga Ayah Marvel."
Tante Ema menunjuk ponsel di genggaman tangannya. "Si... siapa tadi namanya..." Tante memijat keningnya. "Wati, apa Santi..."
Aku menghela napas, lalu membenarkan posisi duduk menghadap Tante Ema. "Trus dia jemput Marvel ke sini?"
Tante Ema mengambil napas panjang. "Dia minta tolong sama Tante untuk anterin Marvel."
"Masak kayak gitu sih?" protesku dengan kening mengeryit dalam. "Ini keponakannya yang satu, udah meninggal. Masak nggak ngelayat ke makamnya? Walaupun undah jadi mantan ipar, tetap aja yang namanya nunjukin bela sungkawa meski datang ke sini. Kan kasihan Ibu Kartika dan anaknya! Nggak ada yang ngelayat."
Tante Ema mendecis pelan. "Dia nggak bisa jemput karena dia habis lahiran. Jadi kayak semacam," Tante Ema mengibaskan tangannya di depan wajah. "Ada pantangan gitu katanya tadi. Biasalah orang-orang yang masih mikir ada pamali gitu. Kita harus hormati juga kepercayaan mereka."
Aku menyandarkan punggung, mengangguk kecil setelah mencerna perkataan tanteku.
Tante Ema melirik jam di pergelangan tangannya. "Masih jam sepuluh. Tante boleh minta tolong anterin Marvel nggak sama kamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
J⃨e⃨j⃨a⃨k⃨ 𝗦𝗲𝘁𝗮𝗽𝗮𝗸
Horror🌜Spin-off genre horor dari seri 'Metanoia'🌛 Kebakaran di depan komplek rumahnya memaksa Elra menolong Marvel, anak laki-laki berusia enam tahun yang satu-satunya menjadi korban selamat. Marvel yang akan diasuh oleh tantenya, tiba-tiba menghilang s...