🎐1. SUGENG RAWUH🎐

241 29 9
                                    

🎐🎐🎐

Derit roda becak kayuh mengiringi perjalanan Rhea menuju Losmen Purnomo. Sepanjang perjalanan, matanya disapa hangat dengan deretan bangunan berkesan tua dan kuno namun sarat akan makna. Ia masih menyusuri jalanan kota tua sekarang. Mungkin sebentar lagi ia akan sampai di tempat tujuannya.

Semarang siang ini panas sekali. Tak kalah panasnya dengan cuaca di ibu kota. Bedanya, setelah seminggu belakangan udara Jakarta terasa sesak di dadanya. Di kota yang menjadi naungannya kali ini, Rhea ingin memulai semuanya dari awal lagi. Benar-benar dari dasar kembali. Di kota ini pila, perlahan tapi pasti ia ingin sembuh. Tak ingin lagi ia merasa luka sesakit ini yang  ersarang di dadanya.

"Kakaknya dari mana, kak?" Tanya supir becak kayuh dengan ligat medognya.

Rhea tolehkan kepalanya ke belakang, tepatnya ke tukang becak yang mengantarkannya ke penginapan.

"Saya dari Jakarta, pak" balas Rhea dengan suara kuyunya.

"Wah, orang ibu kota rupanya. Kesini mau liburan toh, kak?" Tanya ramah si bapak tukang becak.

Tatapan Rhea membayang, "Bukan pak. Saya mau ikut tinggal di Semarang sementara waktu"

"Woah, sugeng rawuh kalau gitu! Tenang mawon, kak! Warga Semarang ramah-ramah kok. Pasti kakaknya betah tinggal di sini. Saya berani jamin!"

Senyum kecil terbit di sudut bibir Rhea setelah menerima sambutan hangat pertamanya di kota Lumpia ini. "Terimakasih, pak" balasnya seadanya.

"Sik, sik, kakaknya tau Losmen Purnomo dari mana e?" Tanya si bapak.

"Dari mendiang Papa saya, pak. Papa saya orang Banyumanik asli. Dulu saya dan keluarga sempat tinggal di Semarang. Cuma sejak saya umur 5 tahun, keluarga kami pindak ke Jakarta karena Papa ditempatkan disana dinasnya"

"Owalaah, wong Semarang juga ternyata to, kak? Pantesan kok tau Losmen Purnomo, padahal itu Losmen udah berdiri dari jaman saya masih kecil sampai sekarang. Tapi ya gitu.. nggak serame dulu. Kalah saing sama hotel-hotel mewah lainnya di Semarang. Yah, walaupun nggak seramai dulu, sekarang itungannya masih banyak juga kok yang berkunjung. Apa lagi tamu-tamu lama langganannya Losmen Purnomo. Seperti kakanya ini"

Kayuhan becak kayu itu memelan begitu berbelok masuk ke gang lebih kecil yang masih muat dilewati dua mobil. Nuansa rumah-rumah di dalam gang itu seketika berubah. Jika sebelumnya bernuansa kolonial peninggalan penjajah Belanda, kini nuansanya berubah menjadi rumah-rumah bernuansa etnis Tionghoa menyapa perjalanan Rhea.

"Tapi lingkungannya aman kan ya, pak?" Tanya Rhea begitu melihat lingkungan sekitarnya yang terasa sepi.

"Woalaah, aman biyanget, kak! Walaupun keliahatannya lingkungan sini kerasa sepi banget waktu siang gini, tapi kalau malem bakalam ruame banget!"

Rhea kerutkan kening, merasa bingung akan ucapan tukang becak yang ada dibelakangnya. Tak bisa bohong, hatinya was-was juga.

Tak salah tentunya ia merasa was-was. Lingkungan ini baru untuknya. Dan disini pula ia tak memiliki sanak saudara satupun lagi. Seluruh keluarganya di Semarang telah bermigrasi ke luar Jawa semua.

"Kenapa ramenya waktu malem, pak?"

Sembari kayuh pedalnya, Tugiyo si tukang becak tersenyum maklum mendengar nada khawatir dalam pertanyaan penumpangnya.

"Losmen Purnomo itu berdiri di daerah pasar Semawis, kak. Pasar bubrahnya di kawasan pecinan Semarang ini. Wah, kalau malam kak.. ruaaaame pol! Banyak yang jual makanan dan jajanan. Asik banget nuansanya kayak lagi di negeri tirai bambu gitu loh kak! Hahaha"

LOSMEN PURNOMOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang