🎐🎐🎐
Hal pertama yang Rhea lihat setelah bersusah payah membuka matanya adalah lonceng yang tergantung di jendela yang ia biarkan setengah terbuka semalaman menari-nari terbawa angin dari luar.
Rupanya rasa lelah, pusing dan sedih membuat Rhea baru membuka matanya tepat saat jarum jam dinding tunjukan angka 12 siang. Semalam setelah bebersih tubuh serta memakan bubur yang diantar pegawai Losmen sesuai permintaan Dion, Rhea langsung tertidur tanpa sempat menutup jendela kamarnya.
Untung saja hujan sudah mulai reda saat Rhea selesai mandi. Sehingga kamarnya tak kebasahan karena tampias air sebab ia sudah tak punya tenaga lagi untuk sekedar menutup jendela didepan kasurnya.
Tertatih Rhea bangun dengan perlahan dari kasurnya sembari kumpulkan kesadarannya yang masih tercecer entah kemana. Tangannya kemudian ambil benda kotak kecil yang ada di samping bantalnya.
Kening Rhea seketika menukik ke bawah kala temukan riwayat 10 panggilan tak terjawab dari satu orang yang sama.
Dion Purnomo.
Tanpa berniat sedikitpun menelfon kembali, Rhea lebih memilih menuruni kasurnya yang berantakan untuk masuk ke kamar mandinya. Mandi air dingin menjadi pilihan Rhea sebelum pergi ke restoran bawah untuk mengisi perutnya yang ia abaikan kelaparan.
🎐🎐🎐
"Mas mu wis gendeng tenan ketokke, Dim" sindir Wisnu kala lihat Dion berdiri mematung di depan pintu restoran hampir 1 jam lamanya.
Dimas letakkan nampan berisi piring dan gelas kotor bekas tamu di meja pantry lalu balikkan tubuhnya untuk ikut tatap kakak angkatnya. Benar yang dikata Wisnu. Dion sejak kemarin memang aneh sekali tingkahnya. Seperti orang gandrung.
"Sebenere mas Dion tuh lagi nunggu sopo to yo mas?" Tanya salah satu adik termuda keluarga Purnomo itu.
Wisnu angkat kedua pundaknya, "Mbuh, Dim. Aku yo ora ngerti karo tingkah e mas mu siji kuwi!"
"Sik, sik! Awas!"
Dimas dan Wisnu menoleh ke belakang secara serentak kala Wibi keluar dari area dapur dengan membawa dua kantung sampah di kedua tangannya.
"Sini tak buangin ke depan, mas" Dimas baru saja menyentuh ujung keresek sampah namun Wibi segera menarik mundur tangannya.
"Gak usah, Dim. Makan siang o wae sana lho sama mas Wisnu! Iki biar si Dion wae sing buangin. Daripada berdiri koyo patung semar ngono ning ngarep lawang!" Wibi tunjuk Dion dengan dagunya.
Wisnu anggukkan kepalanya setuju dengan cetusan Wibi, "Yawes, aku sama Dimas makan sik yo, Bi. Entar nyusul habis nyuruh si Dion"
"Iyo, mas" Wibi bawa langkah kakinya ke arah Dion yang masih betah berdiri diam mengawasi pintu masuk restoran.
"Yok, Dim!" Wisnu ambil langkah pertama menuju ke ruang staf dapur yang ada disisi kanannya diikuti oleh Dimas kemudian.
Sementara Wibi, dengan langkah tergesa hampiri Dion bersamaan dengan kedua tangannya yang menenteng keresek sampah di kanan dan kirinya.
Srak!
"Aduh!" Kaki panjang Dion mundur hingga punggungnya menempel di tembok. Ditatapnya Wibi yang tepat berada di depannya dengan kebingungan yang menguasai kepalanya.
"Opo to koe, Wib! Sampah kok di lempar ning aku ki lho! Untung gak berserakan!" Omel Dion.
"Koe sing opo, Yon?! Wis gendeng tenan to koe, Yon?! Dari kemarin celingak-celinguk ra jelas! Ngelu aku dan yang lainnya lihat kamu, Yoon..Yon!" Omel Wibi ganti.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOSMEN PURNOMO
FanfictionSaat hatinya dihancur kan tak bersisa, kota Semarang lah yang langsung terlintas di kepalanya. Berbekal kenangan masa kecilnya yang tertulis di buku hariannya semasa kecil, Rhea injakan kaki di kota kelahiran yang telah 25 tahun ia tinggal hijrah ke...