Someone from the past

161 27 3
                                    



Apa yang akan kalian katakan jika sewaktu-waktu mendapat pertanyaan, "Apa penyesalan terbesarmu dalam hidup ini?"

Tiap-tiap orang pasti punya jawaban berbeda. Beberapa mungkin punya daftar yang tak terhingga panjangnya. Sebagian lagi mungkin tidak yakin harus menjawab apa sebab merasa hidupnya belumlah seberapa lama. Tapi bagi Yaci sendiri, ada satu jawaban yang bisa dengan jelas dan tegas ia utarakan tidak peduli berapa pun usianya, yaitu perihal impulsivitas.

'Listen to your heart', atau, 'ikuti saja kata hatimu', begitu ucap mereka yang merasa bijak—atau mungkin hanya tidak tahu lagi harus berkata apa saat ada yang membagikan kebingungan atau menceritakan masalah. Tapi seumur-umur Yaci mengikuti kata hatinya, justru lebih banyak sesal yang ia rasa. Contohlah malam ini, ketika ia punya kamar eksklusif di hotel bintang 5 beserta jatah sarapan pagi dan kesempatan untuk berenang atau meni-pedi, ia malah memilih untuk mengemudi sendiri pukul 2 pagi menuju apartemennya yang tidak berpenghuni hanya karena ia TIBA-TIBA MERASA ingin pulang.

Apakah itu masuk akal? Tentu tidak.

Sensasi yang sekonyong-konyong datang entah dari mana berupa dorongan kuat untuk melakukan sesuatu tanpa mempertimbangkan plus dan minusnya itu tidak lebih dari sekadar petaka. Apalagi karena tidak ada alasan kuat yang menjadi landasannya, murni hanya sekadar mau saja. Apa-apaan coba? Nyatanya instruksi untuk 'mengikuti kata hati' itu aneh sekali. Setidaknya begitu bagi Yaci.

"Hoaaaam," Yaci kembali menguap untuk kesekian kalinya. Dirutukinya rasa kantuk yang tidak kunjung pergi sekalipun sebelumnya ia sudah sempat mengisi daya dengan tidur selama 1 jam 45 menit dan minum segelas kopi. "Nice, Gurl! Padahal lo punya semua alasan untuk tinggal tapi lo tetap milih buat pergi. Ah, pinter banget emang gue."

Embusan napas kasar lolos dari bilah bibir Yaci. Teringat kembali pesan Manda yang ia dapati segera setelah kesadarannya terkumpul terpampang nyata di atas meja. Bunyinya begini:

Kata gue sih, kalo lo kebangun nanti mending lanjut tidur lagi. Gak usah maksain balik tengah malam. Kayak ada yang nungguin lo pulang aja.

Xoxo, Ur Man 

Ugh, menyebalkan sekali. Sangat. Yaci bahkan masih ingat dengan baik penempatan titik koma yang Manda gunakan dalam torehan tulisan tangannya itu. Pesan yang dibuat di atas selembar kertas HVS itu Yaci temukan tepat di samping pemanas air beserta sasetan kopi instan, seolah-olah Manda tahu ia akan menenggak kafein dulu sebelum pulang. Fakta itu saja sudah cukup untuk membuat pelipis Yaci berkedut lantaran menahan emosi. Dan sekarang, rasa-rasanya Yaci bisa memvisualisasikan dengan jelas bagaimana Manda akan berdiri dengan kedua tangan yang bersilangan sembari menggeleng pelan lengkap dengan raut wajah prihatin yang kelewat dibuat-buat lalu berkata, "Kaaan."

Argh! Rasanya Yaci ingin mengacak-acak dunia.

"Awas aja lo, Man! Gue bales lo nanti!"

Nanti yang dimaksud Yaci adalah dua hari dari sekarang, saat mereka berkumpul di kantor guna rapat rutin dan evaluasi. Yaci akan memikirkan rencana pembalasan untuk Manda saat langit sudah jauh lebih terang. Untuk sekarang, fokus Yaci adalah sesegera mungkin berbaring di kasur kamarnya berhubung kelopak matanya sudah kian memberat.

Tapi ngomong-ngomong, padahal Yaci sudah mengemudi selama kurang-lebih 20 menit, tapi kenapa gedung apartemennya belum terlihat juga, ya?

Saat itulah Yaci tersadar bahwa ia tidak lagi berada di jalur yang benar. Sekonyong-konyong kedua matanya membulat bahkan nyaris melompat keluar dari tempatnya. Napas Yaci tertahan di dada sementara jantungnya berpacu jauh lebih cepat dari laju kendaraannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 23, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Just Don't DateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang