Tidak Ada Tindakan (?)

6 5 0
                                    

Adzan dzuhur berkumandang, Raina segera bangun dari tidur Qoilullah-nya. Terlihat teman-teman satu asramanya belum pada bangun, biasanya ia sering bangun awal dan membangunkan teman-temannya. Tapi tidak untuk kali ini, sebab ia telah men-judge dirinya sebagai orang yang dimusuhi semua teman asramanya kecuali Maya, prasangkanya buruk jika membangunkan mereka. Terlebih, sudah dua hari ini, ia harus mandi paling awal agar tidak mengantre.

Maka Raina hanya membangunkan Mala, gadis itu terkadang susah bangun, namun karena kejadian ini ia jadi mudah bangun. Perihalnya sama dengan Raina, harus mandi awalan agar tidak mengantre.

“Mal, bangun!” bisik Raina agar tidak terdengar oleh yang lain.

Mala membuka matanya.

“Udah adzan, ayo wudhu terus ke masjid bareng!” ajak Raina.

Mala mendudukkan dirinya, ia sedang mengumpulkan nyawa.

Letak ranjang Raina dan Mala hanya perlu melewati dua ranjang. Mala tidur di bawah demikianpun dengan Raina. Sedangkan, di atas Raina terdapat Aisha dan di atas Mala tadalah Zayya. Lalu Dhira tidur di dekat kamar wali asrama, sebab dia sangat susah untuk bangun.

“Ana wudhu duluan ya,” ucap Raina sambil berlalu, pergi ke kamar mandi.
Mala mengangguk.

Saat Raina sudah pergi ke kamar mandi, Mala melihat papan di atasnya sedikit bergoyang, pertanda bahwa Zayya sudah bangun. Maka Mala segera berdiri dan berjalan menuju kamar mandi.

Raina keluar dari kamar mandi, ia mendapati sosok Zayya tepat berada di depannya. Rupanya, Zayya tengah mengantre, di belakangnya terdapat tiga teman seasramanya ikut mengantre pula.

“Kayaknya aku kelamaan, tadi sih pake acara kebelet BAB segala, haduh!” batin Raina meratapi dirinya.

“Minggir! Lama banget sih,” gerutu Zayya.

“Iya nih,” sahut yang lainnya tak suka.

Raina segera menepi dan menjauhi mereka. Seklias ia melihat kamar mandi sebelahnya juga terdapat orang yang mengantre, dia berharap yang di dalam bukanlah Mala.

“Kok lama, Ra?” tanya Mala yang sudah siap pergi ke Masjid.

“Iya tadi BAB,” jawab Raina, ia bersyukur bukan Mala yang berada di dalam kamar mandi tadi.

“Ya udah, cepetan, udah mau iqomah,” kata Mala yang terduduk di kasurnya.

“Ya,” Raina segera siap-siap.

“Eh, udah adzan ya? Kok gak bangunin sih?” terdengar suara dari kasur Aisha.

Raina kaget, kok Aisha berbicara dengannya, “Eh, Aisha, afwan ya.”

“Ah lupa,” nada suara Aisha langsung berubah judes. Ia turun dari tangga ranjang lalu sekilas menatap kesal ke arah Raina dan Mala. Setelah itu ia pergi ke kamar mandi.

“Ini gak ada apa-apanya, Raina! Gini aja kok lemah sih?” batin Raina menangkal kesedihannya. Lalu ia menatap ke arah Mala.

“Buruan cepet, Ra!” Mala malah tampak biasa saja.

“Iya iya.”

***

Masjid Ar-Rahman Islamic Boarding School nampak sudah ramai, bangunan itu bertingkat dua. Di bawah khusus santri dan guru ikhwan dan di atas khusus santri dan guru akhwat. Tangga menuju lantai dua tidak dibuat di dalam, namun diletakkan di luar menghadap gedung sekolah akhwat, agar meminimalisir santri akhwat untuk berpapasan dengan santri ikhwan.

Pintu utama Masjid mengarah ke gedung sekolah ikhwan, berarti tangga berada di bagian belakang Masjid yang hanya memiliki satu pintu kecil khusus untuk lewat guru Ikhwan yang baru mengajar dari kelas akhwat.

Di samping kanan dan kiri Masjid terdapat pagar dinding yang tinggi sebagai pemisah wilayah ikhwan dan akhwat. Warna bangunan tersebut menggunakan warna khas sekolah, marun dan coksu.

Raina dan Mala segera menaiki tangga dan mencari shaf paling depan. Mereka berdua melaksanakan sholat sunnah tahiyatul Masjid dan qobliyah dzuhur. Beberapa menit kemudian, iqomah terdengar dan sholat dzuhur berja’ah pun di mulai.

Usai sholat dzuhur dan dzikir serta berdoa’ bersama, Raina dan Mala masih berada di Masjid untuk melaksanakan sholat sunnah ba’diyah, sambil menunggu para santriwati keluar dari Masjid agar keduanya tidak bertatapan dengan mereka. Berita Raina dan Mala yang melaporkan Zayya, Aisha dan Dhira sudah tersebar hampir setengah dari santriwati. Sudah Raina pastikan, Zayya yang menyebarkan dengan mengaku bahwa insiden malam ahad itu palsu dan Raina telah membuat fitnah. Zayya juga jelas-jelas mengompori para santriwati agar menjauhi Raina dan Mala.

“Sampai kapan kita sepert ini, Ra?” tanya Mala ketika sudah selesai sholat.
Raina menggeleng, “Entahlah. Semoga gak lama.”

“Aamiin. Oh ya, inikan sudah dua hari, kok Ustadzah Lubna belum mengambil tindakan untuk mereka ya?” Mala bingung, ia merasa seakan laporan dirinya dan Raina dianggap sebelah mata oleh Ustadzah Lubna.

“Bener juga, kok mereka belum dipanggil ya,” respon Raina sambil melipat mukenanya.

“Sambil jalan yuk ngobrolnya, ana udah lapar nih!” Mala berdiri.

Raina ikut berdiri, “Eh tapi ana curiga, Zayya menyogok staf guru. Atau kalau tidak, ia menyogok penjaga CCTV untuk menghapus bukti rekaman CCTV-nya, lalu bisa saja Ustadzah Lubna mengira bahwa kita berbohong,” duga Raina.

“Hush! Gak boleh su’udzon!” nasihat Mala.

“Bukan su’udzon, Mal. Zayya kan popularitasnya tinggi, kalau ada media yang meliput kesalahannya ia bisa turun, terlebih pada Papanya yang seorang artis. Pasti Papa Zayya akan menggunakan berbagai cara agar latar belakang keluarga mereka bersih menurut netizen,” jelas Raina.

“Iya juga sih,” Mala menghela nafasnya.

“Hah apa? Ulangi coba tadi ngomongnya, ana gak denger nih!” tiba-tiba muncul suara familiar dari belakang mereka. Rupanya Zayya, Aisha dan Dhira masih berada di Masjid tanpa mereka ketahui karena fokus mengobrol.

Raina dan Mala reflek menoleh lalu kaget. Zayya, Aisha dan Dhira berjalan ke arah keduanya.

“Kayak hantu aja sih, gentayangan di mana-mana,” gerutu Raina dalam hati.

“Ayo pergi, Ra!” ajak Mala berbisik.

“Bentar dulu.”

“Kok kayak takut gitu, wkwkwk. Oh iya lupa, kan mental cepu, wajar takut,” ejek Dhira.

“Kalian dengerkan sebenernya? Ya udah sekalian aja, buat mastiin, bener gak yang tadi ana bilang?” tanya Raina berani.

“Asal lo tahu ya, gue gak sepenakut itu, sialan,” Zayya mendekatkan mulutnya di telinga Raina agar terdengar bisikannya.

Raina kaget, ia tak suka jika Zayya sudah berkata kasar. Raina mendorong Zayya, “Jaga ucapan antum Zayya!”

Mala, Dhira dan Aisha terkaget ketika Raina mendorong Zayya.

“Zayya!” kompak Dhira dan Aisha, mereka menahan tubuh Zayya agar tidak sampai jatuh.

“Main fisik antum, Ra!” Aisha tidak suka.

“Aduh sakit banget pundak ana,” keluh Zayya berpura-pura.

“Zayya berkata tidak ahsan tadi!” geram Raina.

“Ternyata antum bukan sahabat yang baik,” ucap Dhira sedih.

“Ana gak bermaksud nyakitin Zayya, dia berkata kasar, percayalah!” Raina tak mau kalah.

“Udahlah, gak usah dipercaya. Pergi aja yuk!” ajak Zayya dengan nada dilemah-lemahkan.

Aisha dan Dhira menyetujui Zayya, mereka berdua membantu Zayya berjalan.

“Hei kalian!” Raina hendak berjalan menyusul mereka, namun ditahan oleh Mala.

“Udah, Ra… gak usah, istighfar, jangan emosi,” Mala mengingatkan, ia sedih sekali melihat permusuhan sahabat-sahabatnya.

Raina menarik nafas dalam-dalam, “Astaghfirullahal’adziim. Kenapa mereka jadi seperti ini, Mal?”

Mala menggelengkan kepalanya.

“Apa kita harus mengkategorikan mereka sebagai teman aja, Mal? Sebab kata Rasul sahabat bagaikan penjual minyak wangi dan pandai besi. Jangan sampai kita jadi gak kuat dan malah terwarnai oleh mereka, hiks hiks hiks,” isak Raina dalam pelukan Mala.

Mala hanya bisa menenangkan Raina dengan mengelus-elus pundaknya.
“Apa yang kita laporin ke Ustadzah Lubna itu benarkan, Mal? Gak bohong,” Raina semakin terisak.

“Panggilan kepada Charrysa Zayya Equeena dan Nadhira Zarina Arles dari kelas delapan A untuk menghadap kepada Ustadzah Lubna di ruang guru pada pukul satu siang hari ini!” terdengar panggilan dari pengeras suara sekolah.

“Langsung dijawab sama Allah, Ra…” ucap Mala senang.

Raina membenarkan posisi berdiri dan menghapus air matanya, “Semoga mereka bisa berubah ya.”

“Aamiin. Ya udah yuk makan, perut ana udah keroncongan,” ajak Mala sambil mengusap-usap perutnya.

“Wkwkwk, maafin ya,” tawa Raina.
Keduanya segera meninggalkan masjid dan kembali ke asrama untuk mengambil piring masing-masing, lalu pergi ke kantin.

Tanpa mereka sadari, ada satu nama yang tidak dipanggil ke ruang guru, padahal pemilik nama tersebut juga melakukan pelanggaran yang sama.

Sahabat Tapi JulidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang