Tidak Ada Keringanan

10 3 1
                                    

“Panggilan kepada Charrysa Zayya Equeena dan Nadhira Zarina Arles dari kelas delapan A untuk menghadap kepada Ustadzah Lubna di ruang guru pada pukul satu siang hari ini!”

Zayya, Aisha dan Dhira berhenti mengunyah makanannya saat mendengar suara panggilan tersebut dari mikrofon sekolah. Mereka saling menatap, memancarkan sedikit rasa takut lalu bingung. Seluruh orang yang ada di kantin seketika menatap mereka bertiga, ada yang berbisik-bisik dan ada yang cuek saja.

“Sha, kok antum gak dipanggil sih?” tanya Dhira bingung, ia mengecilkan suaranya agar tidak terdengar oleh yang lain.

“Gak tahu tuh,” jawab Aisha menggeleng, ikut mengecilkan suara juga.

“Serius gak tahu antum? Tapi masa Abi antum ngelindungin antum?” dahi Zayya berkerut, volume suaranyapun ikut dikecilkan.

“Gak mungkinlah itu,” ucap Aisha.

Mengingat bahwa Abinya sangat memperhatikan hasil raport Aisha dan akan memarahinya jika nilai raport tidak sesuai ekspektasi.

“Ah, gak adil nih antum! Masa gak dipanggil sih,” keluh Dhira.

“Kita ngelakuinnya bareng-bareng, masa yang dipanggil cuma berdua, apaan banget ih!” timpal Zayya tak senang.

“Hm… Maafin, ana juga gak tahu kenapa gak dipanggil. Beneran sumpah ana gak tahu,” Aisha jadi tidak enak kepada kedua sahabatnya itu.

“Ya udah, yang penting antum nanti harus berani nyamperin Ustadzah Lubna buat nanyain lho ya,” ucap Zayya lalu melanjutkan makannya.

“Hm…” Aisha tidak yakin.

“Harus dong! Harus, gak mau tahu!”

Dhira menepuk-nepuk bahu Aisha.

“Iya deh iya!” Aisha meyakinkan dirinya.

“Nah gitu dong, siip!” Dhira memberi dua jempol.

Zayya menunjukkan satu jempolnya, ia masih mengunyah makanannya.
Aisha tersenyum. Mereka segera melanjutkan makan, supaya bisa cepat pergi dari kantin agar tak lagi jadi pusat perhatian.

***

Zayya mencari kontak Papanya di gawai milik Ustadzah Lubna, dengan cepat ia menemukannya, sebab Papa Zayya memang baru-baru ini berkomunikasi dengan Ustadzah Lubna terkait dirinya. Sekilas ia membaca obrolan chat antara Ustadzah Lubna dan Papa Zayya, ia membelalakkan matanya.

“Kenapa, Zay?” tanya Dhira bingung saat melihat Zayya kaget.

“Langsung telepon! Jangan baca-baca!” larang Ustadzah Lubna saat mengetahui bahwa Zayya sedang membaca obrolan chat.

Zayya melirik Ustadzah Lubna, dibalas dengan tatapan tajam. Ia segera memencet tombol telepon. Tak berapa lama kemudian, terdengar salam dengan suara berat dari sana.

“Assalamu’alaikum, Ustadzah, ada apa ya?”

“Wa’alaikumussalam, Pa, ini Zayya.”

“Oh Zayya, apa kabar, Nak?”

“Baik, Pa.”

Zayya meminta izin kepada Ustadzah Lubna untuk keluar sebentar, tidak nyaman bicara dengan Papanya di hadapan Ustadzah Lubna. Dhira mengekor.

“Pa…”

“Kenapa?”

“Aku capek lho, Pa, sekolah di sini. Kenapa sih Papa masukin aku ke sini, aku gak suka kehidupan di sini, gak sesuai dengan levelku, pindahin aku aja lho, Pa! terserah di mana aja, yang penting bukan dimasukin ke pondok!”

“Sst… Bersyukur kamu Papa masukin di situ, lingkungan di luar sana sudah bebas, bahaya! Apalagi buat anak perempuan, mau kamu jadi rusak?”

“Aku bisa jaga diri, Pa! Buktinya pas SD aku baik-baik ajakan sekolah di Negeri? Aku gak kuat di sini, asal Papa tahu, di sini gak adil banget, sekolah macam apa ini, yang mengasihani pelanggaran peraturan dari murid-murid berprestasi? Mentang-mentang mengharumkan nama sekolah, makanya ditutup-tutupi. Cih, gak profesional banget!”

“Lah kamu selama ini selalu dilindungi Papa dan Papa harus repot ngurusin pelanggaran-pelanggaran yang kamu lakuin biar hukumannya diringankan dan gak dipublish oleh orang luar. Apa itu bukannya bentuk ketidakadilan kamu terhadap teman-temanmu yang juga melakukan pelanggaran sama namun hukumannya tidak diringankan?”

“Ya makanya itu, pindahin aku aja!”

“Zayya! Kamu sudah besar, gak pantes seperti ini. Papa nyesel selalu ngelindungin kamu, nyatanya itu malah buat kamu jadi tambah nakal! Kurang apa Papa sampai kamu cari perhatian ke lelaki lain hah?!”

“Ih, gak tahulah-gak tahulah, bodo! Papa bawel, apa susahnya tinggal mindahin aku ke sekolah lain!”

“Bingung Papa sama kamu! Gak usah mohon-mohon lagi sama Papa supaya hukuman pelanggaranmu kali ini diringankan, gak usah! Justru Papa minta gurumu untuk menghukum kamu dengan hukuman yang lebih berat, hitung-hitung buat bayar hukuman atas pelanggaran-pelanggaran sebelumnya.”

“Ish, Papa… Papa kok gitu sih… Papa mah…”

“Jangan telepon Papa lagi kalau kamu masih kayak gini! Syukur kamu masih Papa kirimin uang jajan tiap bulan, jangan sampai itu juga Papa tarik nanti. Assalamu’alaikum.”

Sambunga telepon langsung terputus.

“Pa! Papa! Ntar dulu, ih, Pa…”

“Gimana Zay?” tanya Dhira yang sedari tadi sibuk bermain dengan kucing.

“Gak tahulah, nyebelin!” jawab Zayya masih kesal.

“Yah… gak berhasil ya?” cemas Dhira.

Zayya menggeleng.

“Lagian sih antum, pake sewot-sewot segala sama Papa, tadi ana denger, suara antum keras banget sumpah,” omel Dhira.

“Apaan sih, daripada antum gak bantuin apa-apa,” respon Zayya sebal.

“Ya iya, maaf. Terus ini kita gimana?”

“Ya gak tahulah. Kayaknya sih hukuman kita bakal paling berat banget kali ini, Papa bilang gitu sih tadi.”

“Hah? Seriosly? Ih, ogah banget gila!”

“Ya gu-ana maksudnya udah selesai teleponnya, Ustadzah,” Zayya hampir ketahuan bicara bahasa tidak ahsan oleh Ustadzah Lubna.

Secara tiba-tiba, Ustadzah Lubna menghampiri mereka yang berada di depan ruang guru. Sebab, keduanya lama sekali di luar, tidak kembali-kembali ke dalam ruangan.

“Ngapain? Kok lama banget?” tanya Ustadzah Lubna.

“Eh, enggak kok, Ustadzah. Ini Zayya baru aja selesai, beneran Ustadzah!” jawab Dhira memberanikan diri, ia tak mau terus mengandalkan Zayya untuk merespon perkataan Ustadzah Lubna.

Zayya mengangguk-angguk, meyakinkan Ustadzah Lubna.

“Oh gitu, ya udah, masuk lagi!”

Keduanya menurut.

Sahabat Tapi JulidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang