8. He love you, not hate you

267 44 83
                                    

Park Jimin kembali menjalani kehidupan seperti sebelum ia bertemu dengan Millie. Namun, kali ini jelas sangat jauh berbeda. Jikalau dulu ia menjalani hidupnya serba biasa-biasa saja, tapi tidak untuk sekarang, ia sangat tidak bergairah, lebih seperti ke mayat hidup. Bangun dan tidurnya tidak teratur, pola makan tidak teratur, pergi mengurus kafe juga tidak teratur, apa lagi bulu-bulu yang tumbuh di sekitar anggota bagian tubuh, sama sekali tidak kepikiran untuk dicukur.

Bahkan Jimin pernah sampai dua hari tidak mengisi apa pun ke dalam perutnya, yang dilakukannya hanya menangis dan mengurung diri seharian sampai area wajah bengkak memerah.

Pria itu keluar apartemen jika hanya sedang ingin melihat Millie dari kejauhan, memantau gadis Jung dan bersembunyi di balik kafe dengan wajah pucat nan tirusnya. Wajah Jimin tidak bisa berbohong, ia sangat dilanda kegundahan saat ini. Timbangannya sampai berkurang lima kilo dalam tiga minggu belakangan ini.

Hal itu membuat kakak tertuanya marah. Bagaimana tidak, menurut Seokjin, Jimin itu sangat berlebihan sekali, kalau memang cinta harusnya Jimin mengejar sampai ke ujung dunia sekalipun. Jika diibaratkan, Jimin itu harus 'I climb every mountain, and swimm every ocean'--kutipan dari sebuah lagu.
Bukannya malah misuh-misuh tidak jelas seperti ini, pakai acara menangis pula. Nanti sakit, siapa yang susah? Memang si Jimin ini agak lain.

Dan lagi, kalau Jimin terus begini yang ada ia hanya akan mengganggu waktu berharganya Seokjin.

Apa lah daya sang kakak jika sudah melihat adik yang bergundah hati, mau tidak mau Seokjin harus mau membantu si adik bungsu kecintaannya. Memberi motivasi-motivasi agar si adik bangkit lagi, mengingatkan makan, serta membantu mengurus kafe. Mungkin jika diizinkan, soal Millie dia juga yang harus turun tangan. Dasar Jimin, ngaku nya saja gentle, nyatanya tidak. Seperti sudah ditinggal kekasih sampai beda negara saja. Mereka loh, masih satu negara, satu kota, paling jauh pun hanya menempuh jarak selama satu jam saja. Masih bisa dikejar selama janur kuning belum melengkung.

'Ting!'

Seokjin yang duduk di depan meja kasir dengan pikiran yang lumayan kacau balau akibat tingkah laku si bungsu, mendadak sadar ketika lonceng pintu utama kafe berbunyi, pertanda ada pelanggan masuk.

Ini dia, pucuk di cinta Millie pun tiba. Sangat ajaib sekali, gadis ini datang saat Seokjin sedang memikirkannya. Wah, tidak di ragukan lagi kalau Millie ini jodoh adiknya.

Millie membungkuk dan menyapa canggung, ia tidak menyangka kalau yang menjaga di kafe ini malah Seokjin, kakak tertuanya Jimin. Ia menyebutkan pesanan, lalu dibuatkan dengan secepat kilat oleh karyawan kafe tersebut.

Ngomong-ngomong, ini adalah pertama kalinya Millie datang ke kafe ini setelah tiga minggu tidak pernah menyapa tempat ini lagi--setelah kepulangan dari apartemen Jimin. Ia merasa sedikit canggung dan merasa aneh.


Setelah melakukan transaksi, berterimakasih, dan mendapatkan apa yang ia pesan, suara Seokjin menginterupsi ketika Millie ingin melangkah keluar.

"Nona Millie, boleh bicara sebentar?"



****


Disini lah keduanya berada, Millie dan Seokjin sedang duduk berdampingan di taman seberang kafe, tepatnya di samping kampus Millie berada. Seokjin berniat untuk memberitahu perihal Jimin pada Millie, berharap banyak agar hati nurani gadis itu terbuka untuk si bungsu.

"Dia... sangat merasa kehilangan. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja." Setelah beberapa detik terdiam memikirkan bagaimana ia akan memulai, akhirnya Seokjin membuka suara.

Millie menunduk, menatap sendu rerumputan yang tengah mereka duduki.

"Jimin memang seperti itu, walaupun tampak sesuka hati perlakuannya. Tapi percaya padaku, dia anak yang baik. Hatinya lembut bagaikan permen yupi." Lanjut Seokjin, bibir masing-masing dari mereka mengukir senyum saat mengingat-ingat akan tingkah laku Jimin.

STOCKHOLM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang