2. A Dream Within a Dream

15 0 0
                                    

TWO.

"Rafael?"

"Elena? putrinya tante Riani ya?"

Elena mengangguk canggung di hadapan pria bertubuh jangkung dengan paras tampan. Dia masih menggunakan chef jacketnya. Pria itu tampak tenang ketika bertemu dengan Elena, berkebalikan dengan Elena yang terlihat gugup. Rafael mempersilahkan Elena untuk duduk bersamanya di salah satu meja kosong. Kebetulan sekali restauran di hotel ini sedang kosong karena ini sudah melewati jam makan siang.

"Elena, kudengar dari ibuku kau bekerja sebagai asisten desainer di the Fleuve." Rafael membuka pembicaraan diantara mereka berdua. "Benar sekali aku bekerja disana." ujar Elena dengan nada gugup. "Santai saja Elena, aku tidak mengigit." Ujar Rafael yang menyadari kegugupan yang dirasakan Elena.

"Kebetulan aku baru saja membuat menu baru, kau akan menjadi orang pertama yang mencobanya." Rafael meletakkan sepiring masakan western tetapi aromanya masih terasa nusantara di penciumanku. "Aku membuat Ayam goreng garang asam dengan potato puree dan lime foam." Jelasnya.

"Hem, masakan fusion ya? menarik." Ujar Elena tersenyum sopan lalu mencoba masakannya. "Waw, ini benar benar enak. Aku tidak menyangka garang asam bisa dibuat semodern ini.",

"Yeah, thats my job. Aku spesialis masakan fusion disini." Ujar Rafael lalu duduk disamping Elena. Pria itu cukup berhasil mencairkan suasana diantara mereka dengan makanan yang dihidangkannya. "Apa kita tidak apa-apa disini?" tanya Elena memastika keraguannya. "Its okay, restauran masih sepi. Mumpung belum jam makan kita bisa berbicara disini." Ujar Rafael sambil memandang Elena dengan tatapan ramah nan teduhnya. Ia lalu menarik kursi agar mereka bisa berbicara dengan nyaman satu sama lain.

"Kau sudah lama bekerja disini?" tanya Elena berusaha basa-basi. "Yah aku bekerja disini sejak 5 tahun yang lalu. Dari helper hingga bisa menjadi sous chef sekarang." Jelasnya dengan bangga.

Elena menaikkan salah satu alisnya terkejut, "wow sudah bekerja? umur 20 tahun aku bahkan masih menangisi kelakuan para dosenku yang sering menyuruhku revisi jahitan. Bahkan aku dan teman-temanku selalu mengeluh ingin menikah dan jadi ibu rumah tangga yang baik saja daripada harus terus menerus disiksa dengan revisian tapi waktu itu yang ada dipikiranku hanya lulus dengan nilai terbaik, setidaknya aku tidak boleh memalukan kedua orang tuaku. Elena jadi teringat masa-masa kuliahnya yang menyengsarakan itu. Dulu sering mengeluh, sekarang entah kenapa Elena jadi rindu masa-masa kuliah penuh drama itu.

"Hahaha menikah, segitu depresinya?" Rafael tertawa geli sambil menggelengkan kepalanya. Matanya ikut melengkung manis, mengikuti raut wajahnya yang bahagia.

"Aku sampai seperti orang gila bahkan sampai menyalahkan mesin jahitku sendiri karena jahitanku selalu bermasalah. Saking pasrahnya aku mengeluh ingin menikah saja, padahal pacar saja tidak punya." Ujar Elena lalu ikut tertawa. "Kalau sekarang, apa kau ingin segera menikah?" tanya Rafael to the point yang membuat Elena menghentikan kegiatan makannya. "T-Tentu saja, aku ingin menikah. Ayah dan ibu pasti ingin memiliki cucu dariku."

Rafael tersenyum mendengar jawabanku. Tatapannya begitu teduh. Dia memang terlihat seperti pria baik-baik. Tipe-tipe yang super ramah seperti ini pasti ibu akan menyukainya.

"Ibu mendesakku untuk bertemu denganmu, tak kusangka kau berbeda dari wanita lain yang pernah kutemui. Kau terlihat sangat peduli dan mencintai kedua orangtuamu."

Elena menjawab dengan nada tenang, "aku ini anak tunggal dan aku ini satu-satunya harapan serta kebanggaan dari kedua orang tuaku. Aku tidak ingin mereka kecewa. Kau juga..Bersedia bertemu denganku, bukankah kau juga anak yang sangat patuh dengan ibumu?"

Forever & EverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang