Prolog

412 41 8
                                    

.·:*¨༺ ꫀꪜꫀꪖᠻꪻꫀ᥅ ༻¨*:·.

·:*¨༺ ꫀꪜꫀ᥅ ꪖᠻꪻꫀ᥅ ༻¨*:·

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

・:*ੈ✩‧₊˚⋆.ೃ࿔*:・・:*ੈ✩‧₊˚⋆.ೃ࿔*:・・:*ੈ✩‧₊˚⋆.ೃ࿔*:・

Konon katanya melewati Amarilis akan menghancurkanmu. Batas tak kasat mata itu akan mencabikmu jadi keping-keping hingga rasanya seluruh belulangmu lebur, nyawamu terjerembab dalam kubangan, dan jiwamu disayat menggunakan pisau-pisau tumpul. Namun, Aneth tak merasakannya, sebab jika ada titik sempurna sebagai batas antara panas dan dingin, segar dan amis, dibenci dan dicintai, menawan dan memuakkan, maka di sanalah dirinya berada.

Ia seperti disedot paksa oleh pusaran di antara lorong-lorong waktu yang begitu lembut sekaligus kasar. Seluruh inderanya ditumpulkan, dan saat membuka netra, Aneth telah berada di tanah asing dengan sekumpulan makhluk abadi. Tanah yang jauh dari rumahnya, tanah yang berada di luar Amarilis; benda yang memisahkan negerinya dari dunia luar.

Ia hanya manusia fana tanpa daya tatkala Aneth diseret paksa serta diperlakukan layaknya binatang di tanah asing itu.

Segalanya berlalu begitu cepat. Hingga di sinilah Ia, terbaring di ranjang yang sama dengan sesosok pria yang Aneth tau bukan pria biasa. Dalam ruang temaram dengan kandil-kandil lampu berkilau yang memantulkan cahaya rembulan.

Aneth menyibak selimut tebalnya yang berwarna marun. Tanpa gerutu Ia mengambil benda yang Ia sembunyikan di balik bantal setelah tiba di kamar itu. Hanya sedetik, sedetik secepat bintang berkedip belati kayu ash itu berpindah dalam genggamannya. Jantungnya bertalu-talu seolah tahu bahwa Aneth sedang bermain dadu dengan kematian sebagai angka dengan peluang terbanyak. Tubuhnya bergetar dan jeritan jiwanya berderak bagai sais kereta, bersahutan dengan debur ombak di luar sana.

Dalam ruangan berwarna padang pasir itu, anak rambutnya tertiup gurun yang masuk melalui celah jendela lebar. Demi kebebasan Aneth membunuh. Demi kebebasan Ia akan menancapkan belati ini pada suami yang baru saja dinikahinya. Makhluk abadi yang menemukannya disiksa di negeri antah berantah.

Mata Aneth terpejam dengan kedua tangan saling menggenggam belati kayu ash yang Ia arahkan ke dada kiri suaminya.

"Kau tak benar-benar berharap sebilah kayu ash dapat membunuhku bukan, Puanku? Sudah saatnya kau tak percaya pada omong kosong yang ditulis di buku-buku bodoh dari negerimu."

Bibir Aneth bergetar tatkala netra lembayung beriris emas menghunus mata violet miliknya. Ia menyadari terdapat kilat yang menari-nari di netra itu, serupa harimau yang mendapatkan mangsa. Dalam temaram memperingatkan Aneth dengan jelas.

Pria itu bangkit dari tidurnya, menumpukan satu lengannya pada lutut. Gerakan gemulai yang membuat baju tidur satinnya yang berwarna hitam tersingkap. Kallias tersenyum, senyum manis yang tampak begitu menakutkan di mata Aneth. Dengan gerakan seringan bulu, Ia mengambil belati kayu ash dari tangan wanitanya yang bergetar.

Khallias mengusap bibir Aneth dengan ibu jarinya, "lain kali aku akan mengajarimu cara memegang belati dengan benar."

Pria itu tersenyum miring. Sepersekian detik, kedua bibir mereka sudah melumat satu sama lain. Aneth tak kuasa menolak, sebab pada titik itu Ia tahu bahwa Istana Syria milik sang penguasa Wedon bukanlah area bermainnya.

・:*ੈ✩‧₊˚────✧❅♚❅✧────⋆.ೃ࿔*:・

Cek ombak dulu. Kalau rame lanjut, kalau engga bye-bye. ଘ(੭ˊᵕˋ)੭

Ever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang