"Hei, kau sudah mulai gila, ya?"
Perempuan yang tadi tersenyum itu, kini berbalik menatapnya tajam. "Urus saja urusanmu sendiri, sialan."
Pemuda itu menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi, dengan permen di mulutnya. Matanya menatap lurus, dengan bibir yang tercetak senyuman geli. Ia mengambil permen dalam mulutnya, memutar benda tersebut dihadapannya seakan itu objek paling menarik dalam ruangan ini.
* 2 jam yang lalu *
Kim Dokja sesekali melirik belakang. Sial, orang mencurigakan itu masih saja mengikutinya. Ia juga tak bisa meminta tolong karena wilayah sekitar begitu sepi dan asing baginya. Ini karena ia mengambil arah berlawanan dari arah rumahnya, tentu untuk menghindari stalker itu mengetahui alamatnya.
"Seharusnya aku menerima tawaran Uriel-ssi saja tadi untuk diantar pulang," gumamnya.
Kim Dokja merutuki sikap tak enak hatinya, padahal Uriel sampai memaksa tadi ingin mengantarkannya sampai rumah. Tapi, memang dirinya yang kelewat sungkan, jadi ia menolak tawaran bagus itu. Bodohnya, ia baru sadar isi dompetnya kosong sesaat setelah Uriel pergi mengantar temannya yang lain. Untuk membayar ongkos taksi pun takkan cukup dan berakhir dengan dirinya yang berjalan kaki sampai ke rumah.
Sebenarnya rumahnya tak begitu jauh dari sana, tapi harus melewati gang sepi yang jarang di lalui orang dengan banyak gosip kumpulan berandalan berada disana. Tentunya Kim Dokja masih sayang nyawa dan lebih memilih mengambil arah memutar yang lebih lama, tapi malah berakhir diikuti stalker begini.
Ia menaiki jembatan penyeberangan dengan terburu, berjalan cepat dengan langkah yang lebar, berharap bisa lepas dari pandangan stalker itu. Dadanya berdetak kencang, ia sekeras mungkin mencoba untuk tetap tenang. Namun, setiap kali ia melihat ke belakang, stalker itu masih setia mengikuti langkahnya.
"Oy, hyung. Lama tak berjumpa!"
Kim Dokja membeku dalam diam saat seorang pemuda berjaket hitam merangkul pundaknya dan tertawa begitu akrab.
"Siapa kau?" Kim Dokja menurunkan lengan itu dari bahunya, tapi pemuda itu malah menariknya mendekat dan kembali merangkul bahunya. Ia tampak tak terpengaruh sama sekali dengan ketidaknyamanan Kim Dokja atas perlakuannya.
"Jika kau mau pulang dengan selamat, ikuti saja skenarioku dan lakukan peranmu dengan baik."
Suara berat yang datar dan asing itu terdengar pelan, sekilas memberikan rasa geli di telinga Kim Dokja saat nafas hangat mengenai cuping telinganya. Tapi, ucapan pemuda itu tampaknya serius. Jadi, Kim Dokja memulai perannya.
"Haha, iya. Bagaimana kabarmu juga?" Ia terkekeh menanggapi ucapan pemuda tadi, meski dengan rasa kikuk yang masih kentara.
"Aku baik. Oh ya, apa kau tahu, hyung? Ada hal menarik yang ingin ku ceritakan padamu."
Sepanjang perjalanan, pemuda itu lah yang lebih banyak berbicara, sedangkan Kim Dokja hanya sesekali menimpali. Sesekali pandangan pemuda itu akan melirik ke belakang untuk memastikan orang aneh tadi masih mengikuti mereka atau tidak, dan Kim Dokja tak bisa melakukan apapun selain terus mengikuti skenarionya.
Sampai di sisi jalan yang lumayan ramai, pemuda itu akhirnya melepaskan rangkulannya pada bahu Kim Dokja dan bersandar di sisi pagar trotoar.
"Dia sudah pergi. Segeralah pulang." Ia berujar singkat.
Kim Dokja mengangguk pelan dan mengucapkan terima kasih, lalu mulai berjalan pergi. Namun, kakinya ragu untuk pergi, seakan masih ada hal yang tertinggal di belakangnya. Ia sudah mengucapkan terima kasih, kan, lalu apa lagi?
Pemuda tadi tengah mencoba menyalakan rokoknya dengan pematik yang apinya selalu padam bahkan sebelum ia sempat mendekatkan ujung putung rokoknya. Udara malam ini memang cukup berangin, tapi tak tampak akan hujan. Ia mengeratkan jekatnya dan mencoba menyalakan pematik kembali, hanya untuk membelalak kaget kala rokok di bibirnya di tarik keluar. Ia mengangkat wajahnya dan langsung bersitatap dengan mata gelap Kim Dokja yang menatapnya dalam diam.
Ia yang awalnya akan marah atas perilaku tak sopan Kim Dokja mengambil rokoknya tanpa ijin, tak mampu menahan senyum kala dirinya disodorkan sebuah permen.
"Apa ini balasan untuk yang tadi, hm?"
Kim Dokja terdiam. Sejujurnya ia juga tak tahu kenapa ia memutuskan berbalik dan kini berhadapan kembali dengan pemuda tadi. Permen itu sebenarnya ia dapat dari acara tadi yang asal ia ambil, yang akan ia makan di rumah nanti sebagai cemilan.
"Ambillah."
Pemuda itu terkekeh. "Sayangnya, aku tak suka manis."
"Ini rasa lemon."
Tawa pemuda itu pecah seketika, sedangkan Kim Dokja hanya terdiam tak paham. Ada yang salah dengan kata-katanya? Benar, kan, permen itu rasa lemon, bungkusannya saja ada gambar buah lemon.
"Kalau aku ambil ini, lalu bagaimana denganmu?" goda pemuda itu lagi.
Kim Dokja membuka tasnya. "Aku masih punya banyak. Aku tak keberatan berbagi."
Pemuda itu menegakkan badannya dan Kim Dokja baru sadar ia hanya setinggi dagu pemuda itu.
"Hyung, siapa namamu?" tanya pemuda itu sedikit menundukkan tubuhnya untuk mensejajarkan wajah mereka.
"Kim Dokja."
Pemuda itu tersenyum. "Nama yang unik."
"Bagaimana denganmu?" Kim Dokja balik bertanya.
"Namaku Yoo Joonghyuk."
🥀🥀🥀🥀
Ehem... Manis ya guys, sesuai ama judulnya wkwk😌✨
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE-SHOT ORV
Fanfiction☄ Kumpulan one-shot Omniscient Reader's Viewpoint ☄ Yakin gak mau mampir? Gak penasaran jika seandainya disisi lain nebula, terdapat kisah lain tentang para karakter favorit kita di orv? Gak akan nyesel deh buat baca. Yuk langsung sikat ceritanya!✨...