2. Afanda Pranadipa

33 1 0
                                    

Selamat Membaca!

Vote dan komen jangan lupa

****

2. Afanda Pranadipa

"Bando motif panda nya lucu banget." Afanda Pranadipa, gadis kecil berumur enam tahun itu terus memegangi bando yang terpasang di kepalanya.

"Lucu apaan! Jelek!" Randa, Kakak laki-lakinya yang berumur 5 tahun lebih tua darinya itu menarik sebelah kuncir rambut Afanda. Membuat rambut Afanda menjadi sedikit berantakan.

"Mas Randa! Rambut Fanda jadi berantakan!"

"Hei ada apa ini? Kenapa ribut?" Diva, orangtua keduanya. Wanita berumur tiga puluh dua tahun itu, baru saja keluar dari dapur dengan membawa sarapan yang baru saja selesai ia masak. Lalu menaruhnya di meja makan di tengah-tengah mereka.

"Ma, lihat rambut Fanda yang udah Mama rapihin jadi berantakan gara-gara Mas!" Afanda merengek sedih memegang rambutnya.

"Mas, gak boleh gitu ih. Jangan jahil sama adek," ucap Diva yang masih menyusun sarapan di meja makan.

"Enggak, Ma. Adek aja yang cengeng!" Randa memasang muka tak bersalah.

"Ada apa ini? Abang jahilin adek?" Prana Sakti, Papa dari kedua anak itu. Pria berjas hitam yang sangat disegani oleh para rekan kerjanya.

"Iya, Pa! Mas narik rambut Fanda," adu Afanda.

"Sini-sini duduk di pangkuan Papa, biar Papa rapikan," ujar Prana menepuk pahanya agar Afanda pindah duduk di pangkuannya.

Afanda pun menurut lalu duduk di pangkuan sang Papa sambil menunggu semua sarapan dihidangkan oleh Mamanya.

"Karena Abang jahil jadi gak Papa kasih uang jajan hari ini," ucap Prana masih sibuk merapikan rambut putri semata wayangnya itu.

"Pa, jangan dong. Kan Abang gak sengaja." Randa mencoba untuk membela diri.

"Rasain tuh!" ujar Afanda tersenyum penuh kemenangan.

"Dasar tukang ngadu! Cengeng!" ejek Randa.

"Biarin!" balas Afanda sebal.

"Udah-udah, ayo sarapannya dimakan nanti keburu telat sekolahnya."

Butiran-butiran air bening itu mulai menetes dari mata cantik Afanda, membuat ia tersadar dari lamunannya. Gadis kecil itu, kini sudah berumur 16 tahun. Gadis yang sama, yang begitu dimanja oleh kedua orangtuanya, kini dituntut untuk melakukan semuanya sendiri.

Tangannya masih menyuap sepiring nasi yang rasanya sangat sulit untuk ia habiskan. Menahan tangis saat sedang makan, itu sangat sulit kan?

"Ma ... Pa ... Mas, Fanda kangen. Kangen banget. Kita gak bisa kayak dulu lagi ya?"

Afanda menatap sedih kursi-kursi di meja makan itu yang hanya diisi oleh dirinya. Semua pergi, pergi meninggalkan Afanda seorang diri.

"Non Fanda, ada tuan di depan." Suara dari Bi Liya asisten rumah tangganya, membuat Afanda cepat-cepat menghapus air matanya.

"Papa? Ngapain dia ke sini?" Afanda berdiri lalu menemui papanya yang baru saja datang.

"Kamu gimana kabarnya? Gimana sekolah kamu?" Penampilan Prana masih sama seperti dulu. Jas hitam yang menjadi ciri khasnya.

"Ada keperluan apa Papa datang ke sini?" tanya Afanda datar. Pria yang dulu sangat ia sayangi kini hanya memberikannya banyak kekecewaan dan rasa sakit.

"Kalau Papa nanya itu dijawab, jangan gak sopan kamu jadi anak!" Nada bicara Prana sedikit meninggi karena ia menilai cara Afanda bicara padanya sangat arogan.

Ekspresi Afanda masih sama. Ia sudah terbiasa dengan bentakan dan nada-nada bicara yang lebih kasar dari ini. Ucapan lembut dan penuh kasih sayang yang dulu ia dapatkan, semua berubah setelah hubungan rumah tangga orangtuanya hancur.

"Seperti yang Papa lihat, aku baik. Uang yang dikirim Mas Randa masih ada, Papa gak perlu repot-repot buat datang ke sini."

"Papa ke sini bukan sekedar mau ngasih kamu uang. Papa ada dua kejutan buat kamu. Ayo ikut," ujar Prana mengajak Afanda untuk keluar dari rumah.

Afanda hanya mengikutinya. Dan tentu saja ia sangat terkejut saat melihat mobil Civic keluaran terbaru terparkir di halaman depan rumahnya.

"Mobil impian kamu. Hadiah dari Papa atas keberhasilan kamu di lomba kemarin," ucap Prana mendekat pada mobil mewah itu.

"Kamu senang?" Prana bertanya saat tidak mendapatkan respon apapun dari Afanda.

"Mobil aku masih bagus, Pa. Aku rasa Papa gak perlu beli mobil baru buat aku."

"Ini hadiah sayang, kamu seharusnya senang dong. Mobil kamu itu udah Papa jual, mulai sekarang kamu pakai mobil ini ke sekolah dan pergi kemana-mana." Ucapan Prana membuat Afanda lagi-lagi terkejut. Gadis itu bukannya terlihat senang, namun malah sebaliknya. Lagi-lagi Afanda dibuat sangat kecewa.

"Papa jual mobil aku tanpa bilang dulu sama aku? Pak Agus? Pak!" Afanda berlarian menuju garasi sambil memanggil sopirnya. Dan benar saja, mobil putih miliknya sudah tidak terparkir di sana.

"Mobil itu satu-satunya peninggalan Kakek, Pa! Papa tau itu kan?" Napas Afanda memburu, mobil itu benar-benar sangat berarti baginya.

"Itu mobil tua. Lagian Papa udah ganti sama yang jauh lebih bagus dan mahal," balas Prana tak peduli.

Afanda hanya bisa menghela napas pasrah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa ketika papanya sudah melakukan sesuatu.

"Aku mau berangkat," lirih Afanda lemas.

"Ini kunci mobil baru kamu. Tapi sebelum itu, Papa punya kejutan kedua. Ini kabar bahagia untuk kita semua!" Prana terlihat sangat antusias.

"Papa mau nikah sama Tante Imey kan? Aku udah tau," potong Afanda cepat.

"Kok kamu udah tau? Gagal dong kejutan kedua Papa. Kamu setuju kan sayang?"

"Pendapat aku gak akan ngerubah apapun, iya kan?" Afanda terlihat sudah sangat lelah.

"Kamu ini kenapa? Kamu gak senang ngeliat Papa bahagia? Bukan cuma Mama kamu yang bisa bahagia sama keluarga barunya itu, Papa juga mau bahagia!"

Kalau Papa sama Mama bahagia, terus aku kapan, Pa? Kapan aku bisa bahagia lagi. Afanda hanya bisa berteriak dalam hati.

"Aku gak pernah ngelarang Papa atau Mama buat ngelakuin apapun. Papa punya hak untuk hidup Papa sendiri," ujar Afanda tak menatap Prana sama sekali.

Prana tersenyum senang mendengar hal itu. Lalu ia memberikan beberapa map kepada Afanda. "Sekarang tanda tangan di surat persetujuan ini."

"Setelah tanda tangan, aku bisa pergi?"

****

Detak Jantung Untukmu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang