Chapter I

8 1 0
                                    

Jika kamu menyusuri jalan raya ini, maka kamu akan menemukan sekolahku. Dari kejauhan, gedung sekolah ini akan terlihat menonjol di tengah rumah-rumah kecil dan restoran di sekitarnya. Gedung sekolahku terdiri dari tiga lantai, dengan cat biru dan putih. Ketika langit cerah, sekolah ini akan terlihat seperti menyatu dengan langit. Jika hari sudah sore, beberapa siswa dan siswinya terlihat bersandar di taman kecil di lantai paling atas sekolah ini.

Sekolah ini walau pun sekadar sekolah swasta, punya nama yang cukup dikenal di kotaku. Sekitar 1000 orang siswa dan siswi mendaftar di sekolah ini setiap tahunnya. Aku masih ingat hari pertama kali aku masuk sekolah ini setahun yang lalu. Dari pukul 6 pagi, aku telah bersiap-siap dengan seragam sekolahku. Rok sekolah ini terlihat lebih panjang dibanding rok SMP-ku. Aku mengenakan cardigan coklat untuk menutupi tanganku yang kuanggap terlalu kurus. Badanku yang kecil membuat cardigan ini terlihat sedikit kepanjangan. Waktu SMP, teman-temanku sering mengomentari cara berpakaianku yang terkesan 'jadul' dan 'biasa aja.' Tapi aku sendiri nggak terlalu suka mengenakan pakaian yang terlalu mencolok. Setidaknya dengan cardigan, aku tidak terlihat sedikit berisi. Rambutku yang masih terlalu panjang, aku rapikan dua jepit rambut tip top berwarna hitam di sisi kanan rambut agar terlihat sedikit rapi.

Abangku sangat jarang bangun pagi, Ibu bahkan pernah mengejek jika abang bangun pagi dunia ini mungkin sudah kiamat. Dia sendiri sudah kuliah di luar kota, karena libur dia kebetulan sedang di rumah dan berjanji akan mengantarkan aku ke sekolah. Bagaimanapun juga, aku diam-diam sayang sekali dengan dia dan mungkin berangkat ke sekolah dengannya akan menghilangkan sedikit kegugupanku.

"Kamu itu cewek yang manis Biel, cakep. Hati-hati sama cowok, cowok zaman sekarang itu banyak blablablabla," kata Abangku. Di sepanjang jalan dia hanya ceramah soal banyak cowok yang cuman mau manfaatin cewek, banyak cowok yang suka menyakiti hati cewek, dan lain-lain. Aku hanya senyum-senyum pura-pura mendengarkan, sesekali mengangguk-angguk. Setelah dia berceramah panjang lebar, aku hanya bilang, "Tapi kan Abang sendiri juga cowok?" "Justru karena itu, Abang tahu gimana kelakuan mereka," jawabnya pendek.

----

Setelah satu tahun bersekolah, aku mulai paham apa yang dimaksud Abangku itu. Tersebar kabar bahwa ada cowok di sekolah yang jadi "Penguasa" di sekolah ini. Rangga adalah cowok satu angkatan denganku. Dia bukanlah anak dari orang paling kaya di kota ini, juga bukan yang paling pandai atau pun yang paling tampan. Jika kamu pertama kali melihat Rangga, dia terlihat seperti siswa yang biasa-biasa saja. Secara fisik yang tinggi, pakaian yang rapi, dan rambut yang sedikit panjang tersisir dengan rapi ke belakang, mungkin orang-orang akan beranggapan bahwa Rangga adalah anak baik-baik. Aku cukup yakin jika saja dia anak baik-baik, tidak sedikit cewek-cewek yang bakalan naksir dengannya. Penampilannya yang karismatik membuat dia dapat julukan "Lucifer," malaikat yang diusir dari Surga.

Walau sering keluar-masuk Ruang BK, Rangga selalu berhasil menghindari sanksi diskors atau dikeluarkan dari Sekolah. Mulutnya terlalu pandai dalam berdebat dan membela diri, sehingga Guru-guru BK pun terlalu malas untuk menghadapi Rangga.

Kasus pertama Rangga di sekolah ini bermula ketika satu bulan setelah pertama kali angkatan kami masuk sekolah. Anak-anak dari Ekskul Basket sempat ribut dengan anak-anak dari Ekskul Futsal dan hampir tawuran di lapangan sekolah, untungnya Guru BK sempat melihatnya dan langsung mendamaikan kedua Ekskul itu. Terdapat banyak isu tentang alasan mereka hampir tawuran, mulai dari rebutan lapangan, saling ejek prestasi, dan lain-lain. Yang pasti, Rangga yang menghasut anak-anak di kedua Ekskul tadi untuk saling memusuhi satu sama lain dan orang-orang mulai mengenal Rangga sebagai anak paling licik di sekolah kami.

Sejak itu juga, kasus-kasus yang melibatkan Rangga semakin banyak. Kebanyakan mengincar siswa-siswa yang sedang dalam masa terburuknya. Kak Budi, Ketua ROHIS di sekolah kami tiba-tiba berdiri di atap sekolah dan mengancam ingin bunuh diri. Isu yang beredar mengatakan bahwa Kak Budi sedang sedih karena masalah keuangan keluarganya dia, lalu Rangga yang melihat itu langsung membisikkan kata-kata busuknya, menyebut jika Kak Budi hanya menjadi beban bagi orang-tuanya masuk ke sekolah swasta dan lebih baik mati saja. Untungnya aku mengenal Kak Budi dengan baik, karena dia pernah menjadi teman main Abangku waktu kecil.

Gabriella: Si Malaikat KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang