Chapter III

4 1 2
                                    

Dari ketinggian ini, aku dapat melihat laut kota kami dengan cukup jelas. Hari masih siang, dan cahaya matahari terpantul dari laut ke jendela-jendela cafe. Langit yang kebiruan bertemu dengan furniture cafe yang serba putih, meninggalkan kesan sedang duduk di atas awan. Kaca-kaca cafe ini terlihat cukup mahal. Tak peduli betapa panasnya terik matahari di luar, kaca-kaca mahal itu seperti menyerap seluruh hawa panas dari luar dan meninggalkan kesan sejuk angin pantai. Melihat cuaca cerah hari ini, aku tidak perlu berpikir dua kali untuk memilih mengenakan one-piece dress berwarna merah muda dan jepit rambut (aksesoris andalanku) peach. Rasanya pakaian yang cukup pas untuk kencan siang hari.
    "Maaf sudah membuat kakak menunggu," kata salah satu dari trio preman OSIS, entah siapa yang berbicara karena aku kehilangan fokus dengan pakaian yang mereka gunakan.
    "Pakaian kalian kenapa? Anu, err Bangsat, kamu ngapain pakai baju batik bola?"
    Bangsat tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya memiringkan kepalanya sedikit, seakan ingin mengatakan "Memangnya kenapa?"
    "Terus, Anton. Aku memang bilang pakai pakaian yang casual aja, tapi ehmm... Jangan terlalu casual, mungkin?" Aku menunjuk ke arah celana jeans robek-robek dan baju hitam dengan tulisan band Metal Anton. Sekilas, aku teringat dengan mamang-mamang Batagor di depan SMP ku dulu. Anton menggaruk-garuk kepalanya, mungkin sedang membayangkan pakaian 'Casual' yang benar itu seperti apa.
    "Ck... ck... ck... Kalian ini bikin malu kak Biel aja," celetuk Citra sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dia lalu memperbaiki dasinya dan melihat ke arahku dengan wajah yang terlihat seperti campuran sombong dan percaya diri.
    "Citra..."
    "Iya?" kali ini dia memperbaiki jasnya, dan menaik-turunkan alisnya beberapa kali.
    "Kamu pakai baju Bapak kamu ya?"
    "Iya, kak. Bagaimana kakak bisa tahu?" jawabnya dengan nada seorang pembisnis.
    "Itu nametag Bapak kamu masih kepasang, mungkin dilepas dulu. Dan anu, kayaknya pakaianmu itu terlalu formal. Kita kan cuman makan siang di Cafe, bukan lagi dinner party proyek perusahaan multinasional."
    "O... oke kak," jawab Citra. Anton Gundul dan Bangsat menggeleng-gelengkan kepala mereka, mungkin membalas ejekan Citra di awal tadi.
    "Tapi yasudahlah ya, mau gimana lagi. Sekarang aku akan ajarin kalian cara nge-date yang benar." Tugas pertamaku di ekskul Volunteer cukup merepotkan, tapi aku rasa mengajari hal sepele yang bisa aku baca di Internet dan tanya-tanya orang yang berpengalaman di bidang perkencanan masih terbilang cukup mudah.

---

"Jadi, selesai makan, kalian coba mulai obrolan dengan pasangan kencan kalian,"  kataku mengajari mereka sambil meminum Jusku yang tersisa setengah gelas. Mereka mengangguk-angguk lalu mencatat perkataanku seakan aku adalah Tutor Les mereka. "Coba kita praktikan, tanya aku sesuatu," lanjutku.
    Citra mengangkat tangannya.
    "Iya, Citra? Langsung ngomong aja, nggak perlu angkat tangan kayak di kelas."
    "Baiklah, bolehkah saya mengetahui makanan favorit Anda?"
    "Oke, makanan favoritku Ayam betutu. Pertanyaan yang bagus Citra, walau pun masih terlalu standar. Terus ngomongnya jangan terlalu formal begitu ya, ingat kita bukan lagi meeting dengan perusahaan beromzet miliaran."
    Citra mengangguk-anggukan kepala, sedangkan Anton Gundul dan Bangsat terlihat sedang memikirkan sesuatu, mungkin memikirkan pertanyaan apa yang akan mereka lontarkan.
    "Setelah pertanyaan kalian dijawab, kalian bisa tanya lagi dari jawaban tersebut. Misalnya 'Ooooh, aku juga suka makan Ayam betutu, biasanya aku makan di restoran ini," atau 'Kenapa kamu suka makan itu? Apa karena rempahnya atau gimana' biar pertanyaan kalian punya jawaban yang lebih terbuka dan obrolan bisa terasa lebih menyenangkan," kataku dengan nada seperti guru les beneran. Entah sejak kapan aku tiba-tiba terikut ke dalam roleplaying Guru-Murid ini. "Coba kita ubah topik pertanyaannya ke sesuatu yang nggak terlalu standar, gimana dengan Bangsat?"
    "Tinggi dan berat badan, berapa?"
    "Errr... Pertanyaan yang nggak standar emang, tapi tolong hindari obrolan yang membahas fisik, oke? Karena bisa aja pasangan kalian justru tersinggung dengan pertanyaan itu. Mengerti?"
    "Mengerti," jawab mereka secara bersamaan, lalu menuliskan 'Jangan bahas fisik' di buku catatan mereka. "Tolong untuk bagian itu, kalian garis bawahi dengan tebal ya." Mereka menjawab "Mengerti" secara bersamaan lagi, lalu menggaris bawahi tulisan mereka, menuruti permintaanku.
    "Kak, kak," kata Anton Gundul sambil mengangkat tangan. "Serangkaian aturan sosial atau norma dalam masyarakat yang memenuhi kebutuhan umat paroki disebut?"
    "Institusi sosial. Eh, bentar ini kita bukan lagi les loh??? Ngapain ada soal pelajar sekolah????"
    "Hebat, kak Biel memang pintar," kata Anton Gundul menggeleng-gelengkan kepalanya seakan menahan takjub.
    "Kita memang nggak salah memilih boss," kata Citra menepuk-nepuk pundak Anton Gundul dan Bangsat. Bangsat mengangguk-anggukan kepalanya, menyetujui pendapat kedua temannya.
    "HADUUUUH"

---

Aku menghabiskan jusku yang kedua. Sudah hampir dua jam aku menjadi tutor les, dan tenggorokanku terasa sedikit lelah. Satu jam pertama dihabiskan untuk memperbaiki kepribadian mereka yang sedikit eksentrik. Untungnya untuk ukuran geng preman, mereka bertiga orang yang disiplin dan mampu belajar dengan cepat. Aku berharap setidaknya ada satu atau dua hal yang bisa mereka terapkan untuk dating mereka yang beneran.
Aku berdiri dari tempat dudukku, tanpa disuruh mereka bertiga pun juga ikut berdiri. "Kakak tunggu di sini aja," kata Citra dengan tangan kiri yang terulur dan telapak tangan yang mengisyaratkan tanda 'STOP.' "Sebagai seorang gentleman, biar kami yang membayar," kata Anton Gundul menyahut ucapan Citra. Bangsat menarik kembali kursi tempat aku duduk sebelumnya, dan mempersilahkan aku untuk duduk kembali. Mereka kemudian mengambil dompet dari kantong, dan berjalan ke kasir.
Ketika memperhatikan meja di sekeliling, aku baru tersadar walau pun cafe ini terlihat ramai, orang-orang sepertinya menghindari duduk di meja-meja yang berada di sebelah kami. Sekilas aku terpikir, kira-kira apa ya yang dibayangkan orang-orang melihat kami? "Ah, cewek itu pasti anak orang kaya, anak pejabat mungkin. Terus yang badannya besar dan berjas itu bodyguard-nya,  yang pakai baju batik bola itu mungkin supir pribadinya, terus yang pakai baju band metal itu, errrr.... mungkin mamang batagor pribadi?" Aku membuang pikiran jelek tadi jauh-jauh, lalu memperhatikan tempat kasir yang tidak terlalu jauh dari tempat aku duduk. Mereka bertiga terlihat sibuk merogoh-rogoh kantong dan mengecek dompet mereka. "Yah, sudah kuduga."
"Nggak apa-apa, biar aku yang bayar." Aku menaruh beberapa lembar uang ke atas meja kasir. Melihat angka-angka yang tertulis di struk, aku rasa aku harus menghemat-hemat uang jajan bulan ini.
     Mereka bertiga menatapku lama-lama, lalu menutup mata mereka masing-masing dengan tangan.
    "BAIK BANGET!"
    "TERIMA KASIH, BOSS!"
"Anda memang boss sejati kami."
    Dan "date kami" diakhiri dengan aku yang berjalan cepat-cepat ke pintu keluar, diiringi 'anggota geng' yang mengekori aku sambil mengusap-ngusap mata.
---
Untuk pertama kalinya, Rangga datang ke ruangan ekskul kami. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung masuk ke dalam ruangan, mengambil satu buah kursi dan menaruhnya di ujung ruangan, di dekat pintu masuk.
    "Selamat siang, Ketua," katanya dengan nada yang rendah. Di luar, langit terlihat sedkit mendung. Secercah cahaya yang redup dari jendela, masuk dan menyinari ruangan. Meninggalkan kesan ruangan yang abu-abu, seperti warna seragam SMA yang sedang kami gunakan.
    "Siang juga, Rangga," jawabku pendek.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gabriella: Si Malaikat KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang