Chapter II

5 1 0
                                    


Sudah satu minggu sejak ekskul ini dibuat, tapi belum ada satupun siswa yang datang ke ruangan ini. Kemarin Sandra sempat mampir sebentar untuk menitip layangan yang dia bawa dari rumah. "Tolong titip ya! Aku mau main ntar sore di lantai atas!" katanya. Rangga sendiri, satu-satunya anggota ekskul ini belum pernah datang sejak hari itu. Hari ketika dia tiba-tiba datang, menyapa aku dan Rio, lalu menaruh formulir pendaftaran yang dia buat sendiri dengan tulisan tangan ke atas meja, dan pergi entah kemana.

Selesai menghabiskan makan siangku. Aku mengambil formulir Rangga dari laci meja "kerjaku." Tulisan tangan Rangga terlihat Rapi dan bagus, aku sedikit minder melihatnya. "Rangga Dwi Putra," Dwi? Oh, berarti setidaknya Rangga punya Kakak. Kira-kira seperti apa ya Kakaknya? Apa mungkin kelakuannya sama seperti Rangga?

Lahir tanggal 9 Januari, di Kota ... Hm? Kota apaan ini? Aku belum pernah mendengar nama Kota asing ini, bahkan aku nggak bisa melafalkan nama Kotanya.

"Wytrzy mbueh..."

"Wytrzysczc ah tau ah."

Ah, paling ini kota khayalan Rangga aja buat menyembunyikan tempat lahirnya. Bahkan mungkin tanggal lahirnya ini juga palsu. Kelas, aku sudah tahu. Pengalaman organisasi, dikosongkan. Tidak ada hal menarik lain yang ada di dalam formulir ini. Aku menaruhnya kembali ke dalam laci meja.

Aku beranjak dari tempat duduk, dan menyalakan mesin minuman yang dipesan Rio minggu lalu. Tidak lama, air di dalam teko mendidih dan aku menaruh teh celup berbentuk lingkaran ke dalam air panas. Wangi teh mulai merebak ke seluruh ruangan, membuat siswa-siswa mengintip melalui jendela ruangan, mencari-cari tahu asal dari aroma yang menenangkan itu. Aku cukup yakin, ekskul lain mungkin sedikit iri dengan mesin keren ini. Dua hari yang lalu, Rio bahkan sempat menawarkan kulkas buat minuman-minuman dingin tapi aku menolaknya, karena selain bikin ekskul lain tambah iri, kami masih ada kantin di sebelah ruangan. Jangan sampai ekskul ini malah beralih fungsi jadi ekskul masak, atau warung kantin versi gratis.

"Yo," Rio menyapa dari pintu ruangan.

"Halo, Rio. Silahkan masuk." Karena Rio bisa dibilang 'atasanku,' aku mulai menyapa dia dengan cara yang sopan sebagai seorang 'Ketua Ekskul.' Rio duduk di kursi yang berhadapan dengan kursiku. Aku mengambil dua cangkir teh, menaruhnya ke atas nampan lalu menuangkan teh dari teko ke dalam cangkir.

"Silahkan tehnya." Aku menaruh cangkir ke atas meja dengan gerakan yang sekilas seperti pelayan restoran. Jangan-jangan aku memang berbakat jadi pelayan.

"Terima kasih," ujar Rio menyeruput sedikit teh yang masih panas. "Aaaah... enak." Dia menaruh cangkir kembali ke atas meja. "Jadi gimana, mesin minumannya?"

"Mesin mahal begini apa nggak terlalu lebay buat ekskul?"

"Kapan lagi kan kita bisa minum teh enak di sekolah? Hahahaha."

"Tapi bete juga sih, kalau kerjaanku cuman minum teh aja di ruangan ini."

"Hmm, bener juga ya. Besok aku pesankan TV dan mungkin juga PS sekalian biar nggak terlalu bete." Dari raut wajahnya, aku paham betul Rio benar-benar serius bakalan beli TV dan PS.

"PLIS JANGAN. PLIS PLIS."

"Hah? Kenapa?"

"INI EKSKUL BUKAN TEMPAT NONGKRONG, NANTI EKSKUL LAIN PADA SIRIK!!!!!"

"Ya nggak papa kali." Rio senyum-senyum mengacungkan jempol. "Tapi serius sampai sekarang belum ada yang datang?"

"Sampai sekarang sih belum ada sih. Rangga aja juga nggak pernah datang."

"Ooooh." Rio diam sejenak, mungkin sedang memikirkan sesuatu. "Aku masih sering liat Rangga di kelasnya. Tapi, setiap istirahat aku nggak pernah liat dia di kantin atau dimana pun. Kalau jam-jam pulang juga aku nggak pernah liat."

Gabriella: Si Malaikat KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang