CHAPTER 1 : SIMFONI RINDU

581 235 450
                                    

Assalamualaikum teman-teman!
Buat kalian yang baru baca jangan lupa klik bintang! Dan juga Follow.

Aku masih penulis amatir yang membutuhkan kritik maupun saran dari kalian. Dan setiap ada kalimat yang salah atau kurang baik di baca silahkan komen aja atau bisa bilang ke aku dari komen atau dm.

Seorang penulis sangat amat membutuhkan pembaca setia, bukan pembaca yang hanya membaca sesaat ending saja.



"Kita menjelaskan sesuatu namun di anggap melawan, padahal hanya untuk mengeluarkan isi dari sudut pandang kita"

"Kita menjelaskan sesuatu namun di anggap melawan, padahal hanya untuk mengeluarkan isi dari sudut pandang kita"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

~~

Di ruang tamu, Altair berdiri ragu, melihat ke arah ayahnya yang tampak sibuk memeriksa tumpukan berkas dimeja. Ia mengumpulkan keberaniaan, lalu dengan suara pelan namun penuh harap ia berkata "Pa, besok hari pembagiaan rapor, Papa bisa datang ke sekolah?"

Gavin menghela nafas berat, nyaris tak mengalihkan pandangannya dari kertas ditangannya. Altair tahu, ayahnya sering kali enggan terlibat dalam urusan sekolah. Namun, kali ini, ia benar-benar berharap bisa melihat sosok Gavin di antara orang tua lainnya.

Altair menunggu dengan penuh harap, namun balasan yang ia terima hanyalah kata-kata dingin yang meluncur begitu saja.

"Saya gak bisa datang ke sekolah!" seru Gavin

"T-tapi, Pa... Besok hari pembagiaan rapor dan harus ada perwakilan dari orang tua," pinta Altair, memohon agar kedua orang tuanya datang ke sekolah untuk mengambil rapornya.

"Saya tidak mau! Buat apa saya kesana? Nilai kamu pasti mengecewakan!" bentak Gavin. Sampai kapan pun, ia tak pernah sudi mengambil rapor anaknya.

"Pa, Aska janji! Kali ini nilai rapor Aska gak bakal ngecewain," ucap Altair, berusaha meyakinkan ayahnya.

"Tidak! Suruh ibumu saja!" balas Gavin tanpa peduli.

"Saya juga tidak mau! Mau ditaruh di mana muka saya kalau orang-orang disana tau kalau anak saya bodoh!" timpal Erika, ibu dari Altair (Aska), menolak dengan ketus.

Altair mengepalkan tangan, merasakan kemarahan yang sulit ia tahan. "Aska gak bodoh seperti yang mama pikirkan! Kalian selalu malu punya anak kayak Aska! Kenapa? Apa salah Aska sama kalian?" Altair mengeluarkan unek-uneknya, berusaha mengatur napas untuk menetralkan emosinya.

"Kamu ngaca dong! Apa yang bisa mama banggakan dari kamu? Pintar enggak, kerjaanya cuman nyusahin. Dikit-dikit bermasalah. Kamu mau apa sih? Mau jadi anak berandalan kamu!" bentak Erika, menatap Altair dengan kekecewaan.

AltschmerzTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang