Bab 6 : Pemicu

206 57 2
                                    

Dinas Perkebunan berhasil menindak perusahaan PT. Sari Sawit Indonesia (SSI) untuk menghentikan proyek pembukaan lahan dengan cara membakar. Sang CEO, Pratama Batara telah memenuhi panggilan polisi untuk pemeriksaan. Hal ini sudah jelas dalam UU bla bla bla..

Aku tersenyum puas. Beberapa bulan yang lalu aku mengumpulkan bukti pelanggaran yang dilakukan perusahaan tersebut.

Awalnya beberapa wartawan lokal berhasil di tekan pihak mereka. Tapi tidak dengan wartawan yang kubawa. Para wartawan yang kubawa memiliki pengalaman di perang yang cukup lama. Mereka tidak mudah di tekan.

Proyek pembukaan lahan ini lah yang jadi penyebab utama Saranjana terbakar. Seperti efek domino yang terjatuh, satu persatu masalah muncul. Hilangnya anak-anak, lalu di temukan dalam keadaan kering tanpa darah.

Begitupun dengan kebakaran di Saranjana yang mengakibatkan para wanita Saranjana keluar dari wilayah keuasannya.

Disaat yang sama, aku mengembalikan Daylight Emerland kepada pemiliknya, yakni Ratu Kadita. Ajaibnya setelah itu, berita gempa di selatan pulau jawa berhenti.

Bukan hanya itu, sebagai tanda terima kasih, Ratu Kadita memadamkan seluruh api yang muncul di Saranjana. Kupikir masalahku selesai. Dengan pdamnya api di Saranjana, maka hutan akan kembali pulih.

Ternyata... itu salah.

Ratu Kadita hanya mampu memadamkan api di Saranjana. Bukan berati api di hutan Kalimantan ikut padam.

Aku kembali terbangun dari tidurku. Nafasku terengah-engah. Sensasi kulit terbakar itu kembali menempel di kulitku. Panas dan sesak.

Aku pergi menuju toilet. Membasuh seluruh tubuhku. Tak ada yang berubah. Suara jeritan hewan terbakar juga berdengung di kepalaku.

Tak ada luka. Tapi rasa panas ini nyata kurasakan.

Sialnya aku masih berada di pedalaman Kalimantan. Jangankan untuk pulang ke rumah nenekku di Sulawesi, untuk menemukan jalan raya saja sulit.

Aku bergegas menuju sungai belakang pondokan rumahku. Ketika aku membuka pintu, rasa sakit terbakar di tubuhku hilang tergantikan rasa terkejut. Jiwaku seketika terguncang meihat pemandangan yang ada di depan mess yang kutempati.

Ada tujuh mayat yang tergantung di halaman mess yang kutempati. Mayat dengan kepala yang tertutup.

Perlahan kubuka penutupnya. Amarahku memuncak ketika aku melihat wajahnya.

"Beraninya... " geramku sambil mengepalkan kedua tanganku.

Mereka adalah mayat para aktivis lingkungan yang ikut berjuang denganku untuk menuntut proyek perusahaan sawit. Sekaligus menghentikan pembakaran lahan.

Aku menarik nafasku perlahan. Tak peduli seluruh tubuhku sakit, menandakan kebakaran di Kalimantan akan terus terjadi.

Aku menurunkan semua mayat tersebut lantas menelpon polisi untuk penyelidikan dan evakuasi. Tapi.. manusia busuk tetaplah busuk.

"Apa anda Nona Tanetta?"

"Ya , benar.. "

"Tanda tangani ini maka semua selesai. Ini demi keselamatanmu, nona" ucap salah satu polisi padaku.

Aku mengepalkan tanganku. Hingga kuku jariku memutih.

"Apa maksudmu? Apa kau pikir ini bisa selesai hanya dengan beberapa rupiah tak berguna itu?" Desisku.

Polisi itupun mendekatkan kepalanya padaku. Ia tersenyum sinis.

"Kau.. hanyalah mantan anggota NATO yang baru saja diberhentikan. Bagi pria seperti Pak Batara, kau.. bukanlah apa-apa". Ejek sang polisi berpangkat Brigadir itu.

Brak!

Aku memukul meja dengan keras hingga berlubang. Beberapa bawahannya menghampiriku. Tapi ia mengangkat tangan untuk menahannya.

Aku merebut dokumen tersebut, lalu merobeknya.

Sret!

"Kalau kau sudah tahu latar belakangku, bukan kah kau yang harus takut padaku?" Desisku.

Polisi itu memutar bola matanya. Ia meludah tepat di wajahku. Ironis sekali. Sikapnya kali ini tak jauh beda dengan preman bayaran perusahaan kotor itu.

Cuih!

" Jangan terlalu sombong, Tanetta. Aku bisa saja menjebloskanmu sebagai warga illegal dan sebagainya bukan?" Kekehnya.

Aku tersenyum miring.

"Ini peringatan terakhirku, dasar sampah" desisku lantas keluar dari ruangan tersebut.

Keesokan harinya, perusahaan sampah itu hanya di beri hukuman denda 30 juta. Sontak aku meninju tembok sampai retak.

Hukuman yang terlihat seperti leulucon ini membuatku pagiku menjadi lebih buruk dari biasanya.

"Benar.. kalian.. memperlakukan manusia seperti serangga. Menggunakan hutan seperti alat sekali pakai. Tak peduli berapa kerugiannya.. baiklah!" Gerutuku.

Aku membuka laptopku. Ku tempel semua informasi proyek tersebut.

Negoisasi dengan sampah adalah hal yang tak seharusnya aku lakukan sejak awal. Aku akan memulai rencanaku sendiri.

" Juru kunci? Persetan. Aku adalah Bencana". Gumamku.

WENTIRA : Story of Unknown LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang