Bab 2 : Takdir

260 69 1
                                    

Aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Keringat membasahi tubuhku. Sudah tiga hari sejak aku tinggal di sini.

Aku memimpikan hal yang sama. Kebakaran. Tsunami. Wabah penyakit. Hilangnya anak-anak.

Semua mimpi diawali dengan adegan yang sama. Ketika pintu hitam itu terbuka berbagai bencana muncul. Kebakaran hutan membawa tubuhku seolah terbakar dari ujung kaki sampai rambut.

Tsunami yang menenggelamkan tubuhku sampai sesak. Penyakit yang membuat orang-orang mati dalam hitungan detik. Terakhir hilangnya anak-anak.

Kesedihan demi kesedihan seolah terasa sampai jiwaku yang terdalam. Ini sudah ketiga kalinya. Kupikir itu bukanlah kebetulan. Pintu hitam itu.

"haruskah aku membukanya ?" tanyaku pada diri sendiri.

Aku menarik nafas perlahan. Kulihat ponselku penuh dengan pesan. Hari cuti duka tinggal 3 hari lagi. Ibu dan beberapa atasanku sudah menelponku untuk mempersiapkan kepergianku menuju Libya.

Aku mengabaikannya. Jujur saja, jika bukan karena ibuku, aku lebih memilih menjadi warga negara Indonesia dibanding Jerman.

Aku murni berdarah Indonesia. Aku ingin hidup damai disini dengan neneku. Hanya ibu yang memiliki darah campuran.

Sayangnya, aku terlalu pengecut dan takut pada ibuku. Penyesalan ini masih saja terasa. Andai aku lebih berani, mungkin nenek tidak akan kesepian sampai akhir hayatnya.

Cukup lama merenung, aku bergegas menuju wastafel untuk cuci muka. Pintu hitam itu. Ketika aku membahasnya, Ibu marah dan langsung membawaku ke Jerman. Untuk pertama kalinya ibu dan nenek bertengkar. Setelah itu, aku tak pernah lagi membukanya.

"Tapi.. ibuku tak ada disini bukan?" gumamku.

Aku melangkah menuju pintu belakang. Pintu hitam itu masih sama seperti dulu. Dengan ragu aku mulai membukanya.

Aku terkejut ketika memasuki wilayah Wentira setelah sekian tahun lamanya. Ini berbeda dengan ingatan terakhirku.

Saranjana, Pulomas, Padjajaran dan Padang 21 tidak agi menyatu. Mereka terpecah dan dibatasi oleh lautan.

"Apa-apaan ini?"

Masih belum selesai dengan keterkejutanku, suara raungan di segala arah menghampiriku.

Aku melihat dua macan dari arah kiri dan kanan berlari bersiap menerjangku. Macan yang amat sangat besar. Mereka adalah Lodaya dan Bodas, dua macan kesayangan neneku. Namun, yang kulihat sekarang hanyalah dua macan buas.

Rauwwrr!!

Jika aku berlari, mereka akan menganggapku mangsa. Jika aku melawan, aku akan dianggap musuh.

"Oke... mari bertaruh".

Aku mengangkat tanganku. Lalu melakukan salam yang dulu diajarkan neneku. Kusentuh dada kiriku. Lalu berlutut dengan satu kaki. Menunduk takjim.

Diluar dugaan, mereka berhenti. Ikut menunduk. Aku bangun dan menatap Bodas.

Bodas bangkit dan berjalan mendekat. Perlahan tubuhnya berubah. Dari mulai kepala hingga kaki. Hal yang sama terjadi pada Lodaya.

Keduanya berubah menjadi manusia yang cukup rupawan. Keduanya menatapku tajam. Seolah meminta penjelasan.

"Kemana saja kau ? kenapa kau meninggalkan enam pilar?" Kata Bodas.

Pria jelmaan macan putih itu cukup tinggi. Rambutnya putih sepunggung dan di ikat satu. Kulitnya putih pucat. parasnya rupawan dengan mata merah menyala.

Sedangkan Lodaya lebih tinggi sedikit. Parasnya tak kalah tampan. Hanya saja kulitnya hitam dengan warna mata emas.  Surainya hitam gelap pendek.

"Aku tidak mengerti apa maksud kalian". Jawabku.

"Juru Kunci" Ujar Lodaya singkat.

"Apa maksudmu juru kunci?"

"Tidakkah kau ingat? Ketika kau menginjakan kakimu disini, wewenang Maharati berpindah padamu. Apa yang kau lakukan selama 20 tahun terakhir?" tanya Lodaya yang masih memojokanku.

Maharati adalah nama nenekku. Jantungku berdebar dua kali lipat. Kemarahan ibu, nenek yang berusaha menhubungiku, tapi aku mengabaikannya karena takut dengan ibu.

Selama ini, apa aku telah salah?

"Apa yang terjadi?"

Kedua jelmaan macan itu tak menjawab. Bodas berubah kembali menjadi macan. Lodaya menaikinya. Ia mengulurkan tangannya padaku.

"Ikutlah.. "

Tanpa pikir lagi aku menerimanya. Bodas berlari secepat kereta. Menghindari pohon-pohon tinggi. Melintasi sungai dan danau.

Sepanjang jalan hatiku di penuhi rasa sesak yang tak kumengerti. Seolah semua penderitaan makhluk disini masuk kedalam kepalaku.

Pohon-pohon tinggi di wilayah Pulomas sebagian tumbang. Gunung-gunung batu di Padang 21 runtuh. Hutan-hutan di Padjajaran kekeringan. Terakhir, api yang menyala-nyala di Saranjana.

Bodas menurunkanku di sebrang Saranjana. Menyuruhku untuk melihatnya baik-baik.

"Lihatlah.. apa yang dilakukan para manusia serakah itu menghancurkan rumah kami" Ujar Lodaya.

Aku mengerutkan keningku. Suara-suara hewan yang meminta tolong terdengar di telingaku. Rasa panas terbakar juga air beracun seolah terasa begitu pahit di lidahku.

Aku jatuh berlutut. Tanpa aba-aba aku melompat ke air. Meredakan panas yang terasa.

"Apa yang terjadi!" bentaku marah.

Aku tidak tahu menahu mengenai dunia ini. Mengapa aku merasakan semua hal ini?

Kata 'takdir' terngiang di pikiranku. Apa ini yang di maksud nenek dulu tentang melindungi enam pilar? bahwa aku ditakdirkan untuk menjaga semuanya. Sendiri. Takdir yang sama yang di emban neneku.

Apa nenek meninggal karena tak bisa lagi menahan sakitnya?

Inilah alasannya ibu menjauhkanku dari rumah nenek. Ketika pintu itu terbuka, segelnya pun ikut terbuka.

Aku diam membisu. Bodas menatapku penuh simpati. Dia menggesekan kepala besarnya padaku.

Mengelakpun tak ada artinya. Aku akan tetap kesakitan. Satu-satunya cara adalah memperbaiki dan melindungi semuanya.

"Bagaimana cara memperbaikinya?" lirihku.

"Temuilah Kadita. Penguasa Laut Kidul. Dia adalah yang paling bijaksana diantara kita". Jawab Lodaya.

Sekilas aku teringat burung peliharaan neneku. Aku menyeringai.

Garuda, bisakah aku memanggilnya?

WENTIRA : Story of Unknown LadyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang