Tangis Wisteria

11 3 0
                                    

Duka mendalam terbang di udara. Tubuh Tessie bergetar menahan tangis sambil memeluk foto mendiang Ariana, putri semata wayangnya.

Pendeta dengan jubah hitam menatap pilu kepada Tessie. Dia membiarkan Tessie menangis di pelukannya, membasahi kain sucinya dengan derai air mata.

"Sudahlah, nak. Semuanya akan kembali kepada sang pencipta. Mari kita hantarkan putrimu ke tempat terbaik di sisi-Nya," ujar sang pendeta menenangkan Tessie.

Sang ibu yang sedang kehilangan itu kemudian duduk terdiam dengan sungai kesedihan yang masih mengalir di kedua belah pipinya.

Jari-jarinya menggenggam kuat bingkai foto Ariana. Dinginnya logam menyentuh telapak tangannya, sedingin batu hitam pemakaman.

Api cerah membumbung ke angkasa, bersama jiwa mendiang yang tak lagi di dunia.

Jasad yang kaku dimakan oleh api, meninggalkan jejak abu kenangan. Di tengah-tengah hutan wisteria yang rindang, asap putih mengudara melewati cabang-cabang berbunga.

Suasana berkabung dimandikan oleh cahaya emas sang surya yang akan segera kembali ke pelukan kelam.

Hidup manusia, mirip seperti mentari yang terbit dan menerangi hari. Ada puncak tertinggi untuk sang mentari bersinar paling cerah.

Namun, tidak seperti matahari yang tenggelam di sore hari untuk naik ke bumantara keesokan paginya demi memberikan kehangatan kepada pertiwi bumi, jiwa manusia yang mati tidak.

Mereka tidak dapat terbit kembali sebagai manusia.

[]

Gadis manis itu didandani dengan sangat cantik. Dengan gaun berenda dan kain sutra, dia menjadi bintang di hari terakhirnya.

Cahaya hangat yang menyelimuti tubuhnya sedikit mengaburkan pandangannya. Walaupun tubuhnya telah kaku dan jantungnya telah berhenti berdetak, dia masih merasakan hangatnya api dan sejuknya aroma wisteria.

Dia juga masih merasakan kepedihan dari melihat orang-orang yang menangisinya hari itu. Gadis manis yang berhati lembut tidak dapat menahan tangisnya.

Isaknya teredam oleh dinding tipis. Dinding yang tak bisa dia tembus. Dinding yang membatasi tempatnya dengan alam manusia.

Ketika api akhirnya meninggalkan jejak asap tak berbekas, sedu sedannya semakin menjadi. Tatkala ibu yang paling dia cintai berlutut untuk mengumpulkan abu jenazahnya.

Gadis itu ingin bangun dan berlari, ke dalam hangatnya dekapan sang ibu. Namun, yang mati tidak boleh merambah ke dalam dunia yang masih hidup.

Dalam isak tangisnya, dia menyaksikan mereka yang menghadiri pemakamannya satu-persatu pergi.

Batang wisteria menari, menggapai dan merengkuh jiwa gadis itu, seolah mengerti kepedihan hatinya.

The Tales of Mir [DROPPED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang