Makin hari, hubungan Hani dan Willy makin dekat karena projek besar itu. Hani menyadari sepenuhnya ia dan Willy hanya sebatas partner kerja di lapangan, begitu juga Willy.
Setelah mereka menyelesaikan projek besar itu, Hani berinisiatif mengajak Dea dan Willy makan di caffe. Mereka sepakat untuk bertemu di hari Minggu jam 10.00 pagi. Dea dan Willy sepakat untuk hadir. Mereka bercengkarama dengan sangat akrab mulai dari membahas projek mereka hingga membahas hal-hal random. Tak terasa sudah jam 14.00 siang, Dea pamit pulang karena ia harus pergi ibadah Minggu. Tersisalah, Willy dan Hani.
Hani sedikit canggung saat ia dihadapkan di situasi berdua dengan laki-laki. Tapi ia berusaha agar tidak terlihat canggung.
"Wil, lo belum sempet cerita kenapa lo pilih ekskul ini?. Kalo lo gak keberatan, gua pengen tahu."
Willy menghela napas lalu menatap ke bawah sejenak lalu memberanikan diri menjawab pertanyaan Hani.
"Ceritanya panjang Han. Mungkin gua persingkat aja ya. Jadi gua kecelakaan beberapa waktu lalu dan dirawat hampir satu bulan. Lutut kaki gua alami benturan keras dan gua operasi lutut hingga sekarang gak bisa lakuin kegiatan yang berat termasuk sepak bola. Pak Setiawan minta gua harus tetap ikutin satu ekskul untuk nilai non akademik, tanpa pikir panjang gua milih jurnalistik karena peminatnya masih sedikit. Maaf kalau pertemuan pertemuan kita kurang menyenangkan, tapi nyatanya sekarang kita bisa kerja sama gini."
Hani seketika merasa bersalah menanyakan hal itu pada Willy. Ia menggaruk belakang kepalanya dan senyum tipis.
"Maaf Wil, gua gak bermaksud apa-apa. Beneran sekadar mau tahu."
Willy mengangguk, "Ya, gak apa kok. Sekarang gua dah mulai biasa nerima kenyataan."
Hani melihat sesuatu di kantong baju Willy. "Itu rokok?." Tanyanya.
"Iya. Kenapa?." Jawab Willy.
"Lo ngerokok?."
"Iya. Cuma dari tadi gua nahan aja karena ada lo dan Dea."
"Baru tahu gua. Tapi lo baru aja dirawat, kok berani-beranian merokok?."
"Itu karena kecelakaan, bukan sakit paru."
"Walaupun emang gak ada kaitannya. Tapi apa musti nunggu sakit paru dulu?."
"Stop deh Han. Gua dulu gak seadiktif ini, cuma seminggu sekali. Tapi karena gua stress, ini cara gua hadapinnya."
"Iya gua tahu. Tapi ada banyak cara untuk hadapin masalah hidup, gak harus merokok." Nada bicara Hani mulai serius.
"Han, gua pikir lo bakal ngerti karena lo reporter, jurnalis. Ternyata begini ya cara lo hadapin orang lain yang cara pandangnya beda dengan lo." Willy menggeleng-geleng seperti tak habis pikir dengan cara Hani bicara.
"Maaf banget, tapi lo bisa coba cara lain. Dampak merokok gak sekarang, tapi mungkin nanti. Kalau gini cara hadapin masalah lo, masalah lain bisa muncul nantinya."
"HAN!." Suara Willy sedikit keras untuk menghentikan ucapan Hani.
"Stop Han. Gua cabut dulu." Willy mengambil vape dari kantong bajunya lalu bergegas meninggalkan Hani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahan Vs Impian
HumorHani dan Willy adalah sepasang kekasih sejak mereka duduk di kelas 2 SMA (Sekolah Menengah Atas). Mereka dipertemukan dalam ekskul (ekstrakulikuler) sekolah, di mana saat itu Willy berpindah ekskul dari sepak bola ke ekskul jurnalistik, yaitu ekskul...