VIII.

2.5K 299 14
                                    

Beberapa saat berlalu tanpa obrolan diantara mereka. Gisa masih pada posisinya memunggungi Hanan, sedangkan Hanan betah memandangi langit-langit kamar.

Begitu banyak hal yang berkecamuk di benak mereka, namun mereka memilih diam. Terkadang, beberapa hal terasa  sulit untuk diutarakan kepada orang lain.

Hanan menolehkan kepalanya menatap punggung Gisa. Ia tahu wanita itu belum tidur, mungkin dia juga sedang memikirkan sesuatu.

Hanan menjulurkan tangannya ke arah Gisa dan menyentuh rambutnya yang tergerai di kasur. Tangannya membelai rambut itu dengan pelan. Rambut Gisa sangat lembut dan Hanan betah melabuhkan jarinya di sana. 

“Gigi.” Panggil Hanan pelan.

“Hm?”

“Kamu… udah tidur?” Hanan tahu itu pertanyaan yang bodoh, Gisa tidak akan menjawab jika ia sudah tidur.

Gisa menjawabnya dengan gelengan kepala tanpa menoleh ke Hanan.

“Gisandria.” Panggil Hanan lagi. Ia agak menggeser badannya mendekati Gisa sambil tangannya masih membelai lembut rambut wanita itu.

Gisa tidak menjawab, tapi Hanan tahu wanita itu masih mendengarkannya.

Are you happy now?”

Gisa mengangguk.

Hanan terdiam beberapa saat kemudian Gisa melanjutkan jawabannya. “Gue punya orang tua yang sayang banget sama gue, walau sekarang tinggal satu, sih. Gue punya abang dan adik perempuan yang walau gue enggak selalu ada di samping mereka, gue tau mereka akan selalu ada untuk gue kapanpun. Gue punya teman yang selalu ada untuk gue susah dan senang. Gue masih diberi umur panjang sampai saat ini, gaada alasan untuk merasa enggak bahagia kan?” pungkasnya.

Tangan Hanan yang masih mengelus rambut wanita itu terhenti sejenak. “What about me?”

“Hm?”

“Apa gue bukan salah satu alasan kebahagiaan itu, Gisa?”

“Gue.. selama ini buat lo menderita ya?” tanyanya lagi. “Maaf gue belum bisa jadi pasangan yang baik sampai saat ini.” Sambungnya.

Gisa masih bungkam selama beberapa menit sebelum kemudian membalikkan tubuhnya menghadap Hanan.

“Gue pernah baca kalimat ini di salah satu buku, “Kebahagiaan atas hidup kita adalah tanggung jawab kita sendiri, bukan pasangan kita atau orang-orang di sekitar kita”. Gue enggak bisa bilang lo adalah pasangan ideal yang selama ini gue impikan, gue juga sadar gimana perlakuan gue ke lo selama ini. Tapi lo udah ngelakuin tanggung jawab lo dengan baik. Soal bahagia atau enggak, itu urusan gue. Mungkin, masalahnya bukan di orang lain, tapi di diri gue sendiri.”

Hanan mengernyitkan dahinya berusaha memahami perkataan Gisa, namun ia tetap tidak mengerti apa sebenarnya yang ingin Gisa sampaikan.

Selama beberapa detik Hanan masih memandangi Gisa dengan dahi berkerut.

Gisa yang melihat itu terkekeh dan melarikan jari telunjuknya ke dahi Hanan kemudian mengelusnya pelan.

‘Gue ngeliat sisi lo yang berbeda malam ini.” ucap Gisa dengan senyum di wajahnya.

“Emang selama ini seorang Hanan di mata lo gimana?” tanya Hanan penasaran.

“Ya gitu, Hanan yang tegas, Hanan yang galak, Hanan yang jutek, Hanan yang jahil. Bukan Hanan yang menye-menye kayak gini.” Gisa terkekeh di ujung kalimatnya.

“Memangnya saat ini gue menye-menye?”

Gisa mendengus pelan. Ia membalikkan tubuhnya menjadi posisi telentang menghadap langit-langit.

Ingatannya membawa ia pada kejadian lebih dari setahun yang lalu, saat ia mengunjungi rumah orangtua Hanan yang baru untuk pertama kalinya.
.
.
.

“Gisa, ayo cepetan. Gaenak kalo kita datang telat.” ujar Ira, Ibu Gisa dengan setengah berteriak dari pintu depan. Ibunya telah menunggu di depan dan Gisa masih berkutat dengan rambutnya.

GisandriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang