Satu

167 31 1
                                    

Apakah yang pertama kali terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata "bulan purnama"?

Apa kamu otomatis membayangkan benda berwujud bulat besar, melengkung sempurna, dan bercahaya terang? Atau mungkin justru sisi romantismu-lah yang akan mengambil alih? Membuatmu justru terbayang si dia, di mana kalian sedang duduk berdua di bawah purnama, lalu kamu menggenggam tangannya, dan bersiap menyatakan cinta. Ah, bisa juga kamu langsung terbayang manusia serigala yang keluar dari persembunyiannya dan melanglang-buana mencari mangsa.

Hmm, jawabanmu tidak ada yang salah. Fenomena alam yang satu itu memang memiliki begitu banyak makna. Beda orang, beda pula penafsiran dan cara pandangnya. Ngomong-ngomong, apa kamu mau tahu citra "bulan purnama" menurut versiku?

Satu kata.

Melelahkan.

Hanya itulah yang pertama kali muncul di pikiranku ketika ada orang yang menyinggung "bulan purnama".

"Sherin? Buru-buru banget?"

Tanpa menghentikan pergerakan tangan yang sedang sibuk mengemasi barang-barang, aku mengangguk. "Shift kerjaku sudah selesai. Mau cepat-cepat sampai rumah." Kulirik jam di pergelangan tangan. Pukul 8 lewat 15 menit. Buru-buru kuraih tas yang ada di atas meja dan menoleh pada rekan kerjaku yang tadi mengajukan pertanyaan. "Duluan, ya!"

"Setelah kuingat-ingat lagi, kamu selalu pulang cepat tiap bulan purnama."

Gadis berseragam putih itu melirikku sebentar, kemudian menengadahkan kepalanya seraya menatap ke luar jendela. Aku mengikuti arah pandangnya dan mendapati bulan menyembul dari balik pepohonan, terlihat begitu silau di gelapnya langit malam.

"Biar kecantikanku terjaga, aku mesti semedi tiap malam bulan purnama," jawabku asal-asalan. Sesuai dugaan, lawan bicaraku hanya memutar bola mata malas dan tidak lagi bertanya lebih jauh. Aku melangkah ke arah pintu keluar dan menoleh sekali lagi. "Sampai jumpa."

Koridor serba putih yang kulalui terlihat jauh lebih ramai dari biasanya. Beberapa orang hilir-mudik di atasnya. Namun, tidak seorang pun menyadari adanya sosok kerdil yang lagi mengintip dari balik pot bunga, atau pemuda yang sedang melenggang santai dengan meninggalkan jejak-jejak merah di belakangnya, atau makhluk tinggi besar yang tengah menangis meraung-raung entah kenapa.

Sesosok gadis kecil berkuncir dua tiba-tiba muncul di hadapankuㅡwajahnya hancur sebagian dan bola mata kanannya tidak berada pada tempatnyaㅡmembuatku otomatis mengubah jalur agar tidak menabraknya. Sebenarnya tidak masalah kalau pun aku terus berjalan melewatinya, toh aku aku hanya akan menembusnya seolah tidak terjadi apa-apa. Sayangnya, sensasi dingin dan geli—seolah kulitku tersengat aliran listrik berkekuatan kecil—yang kurasakan ketika melakukannya, sama sekali tidak menyenangkan.

Bulan purnama baru muncul selama beberapa jam, tapi "mereka" sudah berkeliaran di mana-mana.

Tepat di depan ruangan bernomor 315, aku menghentikan langkah dan membuka pintunya perlahan. Seperti biasa, ruangan itu sepiㅡoh, tidak begitu sepi, sih. Di sudut ruangan ada kakek berjanggut panjang yang sedang berdiri diam di samping sofa. Suasana di dalam agak temaram, tapi melalui salah satu jendela, bulan purnama membantu memberikan penerangan ekstra. Masih sambil berdiri di ambang pintu, kupandangi satu-satunya manusia yang ada di sana, tengah terbujur lelap di atas brangkar. Bunyi 'bip' teratur yang bersumber dari elektrokardiogram di atas meja membuatku tersenyum tipis, karena biar bagaimana pun, dia masih belum pergi ke mana-mana.

"Selamat malam." Aku berbicara pelan. "Sampai jumpa besok."

Bulan purnama semakin tinggi dan aku bisa terkena masalah seandainya terlambat.

***

One Day in a Full MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang