Tiga

62 20 0
                                    

"Apakah ada pertanyaan?"

Pria itu tersenyum kecil dan menggeleng. Senyumannya masih tetap awet dan pandangannya tidak pernah lepas dariku sedetik pun. Serius, seandainya dia ini manusia hidup sepertikuㅡbukannya arwah dengan urusan tertinggalㅡaku pasti sudah salah tingkah sejak tadi. Dia tampan. Rambut cokelat gelap yang agak ikal, sepasang mata amber yang seolah dirancang untuk hanya memberikan tatapan lembut, dan tubuh yang tinggi tegap ibarat seorang model. Bisa dipastikan orang ini adalah tipe cowok idola yang terbiasa dikelilingi banyak perempuan semasa hidupnya.

"Baik. Saya anggap Anda sudah memahami semua peraturan yang ada, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan di dunia manusia." Aku mulai mempersiapkan lembaran perjanjian. "Nama Anda?"

"Panggil saja Angga."

Aku menjauhkan bolpoin emas di tanganku dari permukaan kertas.

"Saya butuh nama lengkap."

Dia menelengkan kepala dan memasang ekspresi bingung. "Haruskah?"

Aku masih tersenyum, berusaha bersabar. Pria yang satu ini tidak hanya memiliki permintaan yang aneh, tapi dia juga berbakat dalam membuat kesabaranku menipis.

Untuk menenangkan diri, aku mengambil napas dalam-dalam.

Sabar, Sherin. Sabar.

Ingatlah pesan turun-temurun dari para leluhur.

Hargailah para arwah. Perlakukanlah mereka sebaik mungkin. Mereka pernah menjadi seperti kita dan kita pun pasti akan menjadi seperti mereka. Pertimbangkan permintaan mereka dengan serius, seaneh apa pun itu. Kita tidak pernah tahu penyesalan seperti apa yang mengikuti mereka, bahkan sampai ke alam kematian. Sudah menjadi tugas kita untuk memfasilitasi mereka dalam memperoleh kedamaian.

"Untuk mengesahkan perjanjian, saya butuh nama lengㅡ"

"Oke. Begini saja." Pria ituㅡmungkin lebih baik kusebut 'Angga' sajaㅡmalah bangkit dari tempat duduknya dan berdiri di sebelahku. "Kamu bisa mengurus arwah yang lain dulu. Toh, aku tidak akan ke mana-mana. Urusanku hanyalah untuk berada di dekatmu."

Aku hanya butuh keberadaan seseorang.

Permintaan tidak biasa itu kembali terngiang-ngiang di telingaku. Apakah Angga memang sekesepian itu di penghujung usianya? Aku tidak bisa membayangkan rasa sepi yang seperti apa yang membuat arwah berharap bisa mengetahui bagaimana rasanya punya seorang teman bicara.

Dia sudah memilihku untuk menemaninya. Memangnya aku punya alasan untuk menolak? Bisa-bisa para leluhur langsung mengutukku karena menolak jadi fasilitator untuk arwah yang ingin mendapatkan kedamaian.

"Baiklah." Akhirnya aku mengalah. Sebenarnya berbahaya membiarkan arwah tinggal di dunia manusia tanpa terikat surat perjanjian, tapi sepertinya dia bukanlah tipe pemberontak. "Tolong katakan kalau Anda membutuhkan sesuatu."

"Tolong jangan seformal itu."

Angga tertawa, menampakkan sebuah gingsul kiri yang membuatnya terlihat semakin tamㅡah, lupakan.

"Anggap saja aku ini seperti temanmu yang lain," lanjutnya. "Oke, Sherin?"

Itu pertama kalinya dia mengucapkan namaku. Aku ingin bertanya dari mana dia mengetahuinya, tapi arwah berikutnya sudah duduk di kursi yang tersedia. Mau tidak mau, aku harus kembali mengurusi pekerjaan.

Di atas sana, bulan purnama sudah mencapai puncak langit. Tinggal lima setengah jam lagi menuju matahari terbit.

***

One Day in a Full MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang