Akhirnya kami mengungsi ke rumahku. Aku mengajaknya ke ruang tamu setelah membuat secangkir teh untuk diriku sendiri. Aku juga sudah menawari Angga demi basa-basi dan dia menolaknya dengan sopan, tentu saja.
Dan harus kuakui. Dia menyenangkan diajak mengobrol. Aku tidak pernah menyangka akan menikmati momen-momen mengobrol bareng arwah seperti ini.
Angga sudah pergi ke beraneka tempat, bertemu banyak orang, dan mengalami berbagai hal. Pengalaman dan wawasannya sungguh luar biasa. Tidak hanya bermodal tampang dan penampilan, ternyata otaknya juga mengagumkan. Sayang sekali orang sepertinya ditakdirkan berumur pendek.
Cerita mulai berubah suram ketika topik sampai ke bagian tunangannya yang kabur dengan lelaki lain, kecelakaan besar yang membuatnya terbaring koma, keluarga yang jarang mengunjunginya di rumah sakit, hingga pada akhirnya dia menjadi seperti ini.
"Kenapa kamu tidak datang ke mimpi tunanganmu dan menghantuinya saja?" tanyaku geregetan. Itu bukan hal yang mustahil. Kujamin aku akan dengan senang hati meloloskan berkasnya. "Atau mengubah isi surat wasiat, biar semua asetmu jatuh ke yayasan sosial milik negara."
"Ide bagus." Di sofa di hadapanku, Angga tertawa terpingkal-pingkal. "Tapi, tidak. Ada yang lebih layak dari itu."
Jadi menggunakan jatah kesempatannyaㅡyang hanya satu-satunyaㅡuntuk mencari teman bicara, jauh lebih layak, begitu?
Sungguh aku tidak paham jalan pemikirannya.
"Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya?" Aku bertanya ragu-ragu. Selama ini aku belum menemukan arwah yang bisa kutanyai langsung. "Maksudku, rasanya ... meninggal."
"Rasanya bebas."
Aku tidak menduga jawaban barusan.
"Selama setahun ini aku tidak bisa apa-apa selain tertidur koma, begini rasanya lebih baik. Tapi sayang sekali ...."
Angga terdiam, terlihat seolah sedang berusaha keras menemukan kata-kata yang tepat untuk digunakan. Beberapa saat kemudian, dia menyerah dan memulai topik pembicaraan baru.
"Apa kamu tahu aku akan ke mana setelah ini?"
Aku menggeleng. Itu adalah pertanyaan yang tidak seorang pun manusia hidup mengetahui jawabannya. Ke mana manusia pergi setelah menyelesaikan semua urusannya di dunia?
Ada yang bilang kamu akan diharuskan menunggu. Menunggu hari akhir. Menunggu hari pembalasan. Menunggu penimbangan amal. Menunggu undangan dari surga atau neraka.
Ada yang bilang kamu akan berkeliaran di bumi. Bergentayangan. Terkatung-katung. Bergerak tak tentu arah. Tiada, tapi tetap ada. Ada, tapi sudah tak bisa berbuat apa-apa.
Ada yang bilang kamu akan diberi kesempatan kedua. Dianugerahi sebuah kehidupan yang lain. Kembali menjadi entitas nyata. Kembali menjadi bagian dunia fana.
Ada yang bilang kamu akan menjadi salah satu dari bintang-bintang di atas sana. Bersinar begitu terang. Berkerlap-kerlip sangat indah. Bertakhta cantik di langit malam.
Ada yang bilang hari setelah akhir itu tidak ada. Sekedar omong kosong belaka. Kamu mati, kamu lenyap. Hanya ada kehampaan yang menunggu. Kosong. Gelap. Lama-lama terlupakan.
Jadi sebenarnya apa yang menunggu setelah kematian?
"Apa pun yang menunggu kita setelah ini ...." Aku sengaja menggunakan kata 'kita', karena cepat atau lambat, aku pun pasti juga akan menyusul Angga. "Setidaknya kita sudah melakukan yang terbaik selama berada di dunia."
Aku mengambil cangkir teh dan menyesap isinya yang sudah mendingin. Ini pembicaraan yang tidak pernah kulalukan sebelumnya. Mau tidak mau, aku jadi ikutan gugup dan diam-diam bertanya dalam hati. Memangnya aku sudah melakukan yang terbaik di dunia ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day in a Full Moon
Paranormal[Cerita Pendek] Setiap malam bulan purnama, Sherin bekerja sebagai penjaga gerbang penghubung dunia manusia dan dunia arwah. Suatu hari, dia bertemu arwah istimewa dengan permintaan yang tidak biasa. [Cerita ini adalah versi rewrite dari cerpen berj...