Bagiku bulan purnama menandakan datangnya malam yang paling sibuk dalam sebulan. Di hari itu aku diharuskan bekerja sampai matahari terbit, nyaris tidak ada waktu untuk istirahat atau pun sekedar memicingkan mata sesaat. Sungguh sebuah kerja sambilan yang sama sekali tidak kuharapkan, tapi harus tetap diselesaikan tanpa adanya pilihan.
"Saya lupa kasih tahu keluarga di mana letak surat wasiat."
Hembusan napas berat terlontar dari mulutku untuk yang kesekian kalinya. Di hadapanku saat ini, duduk seorang wanita tua yang tengah memasang tampang memberengut terbaiknya.
"Mungkin Anda lupa sudah menyerahkannya ke pengacara?" Bukan baru sekali atau dua kali aku menerima alasan yang seperti tadi. "Cobalah diingat-ingat."
"Tidak. Mana mungkin saya menyerahkannya ke pengacara busuk itu! Dia akan memanipulasi isinya!" Wanita itu terlihat semakin berapi-api. Satu tangannya mengepal kuat dan dia mulai mencondongkan tubuh ke arahku, kemudian berbisik keras. Aku sampai heran kenapa dia mesti repot-repot berbisik. "Pokoknya saya tidak mau semua harta jatuh ke tangan anak durhaka itu."
"Jadi, apa rencana Anda?"
Aku mulai merasa lelah, padahal ini baru sosok kelima yang kulayani malam ini.
"Saya akan masuk ke mimpi anak saya yang paling bungsu dan memberitahukan letak suratnya."
"Baiklah." Kutuliskan beberapa kalimat pada kertas khusus di hadapanku, lalu membacakannya keras-keras. "Ibu Marniati Cahyono. Usia 81 tahun. Meninggal pada tanggal 19 April. Permohonan: izin untuk memberitahukan keberadaan surat wasiat melalui mimpi. Waktu yang diberikan 1 jam. Tolong tanda tangan di sini." Aku mengangsurkan kertas tersebut ke arahnya dan menunjuk sebuah kolom kosong di bagian kanan bawah.
Wanita tua itu meraih bolpoin emas yang tersedia di atas meja dan membubuhkan tanda tangannya di tempat yang kutunjuk. Begitu selesai, kertas itu mengeluarkan sinar keemasan yang menyilaukan dan menghilang.
"Ingat. Anda tidak boleh melakukan hal lain di luar yang disepakati." Sesuai protokol, aku memberitahukan syarat dan ketentuan yang berlaku dari surat perjanjian yang baru saja ditanda tangani wanita itu. "Sanksi dari pelanggaran adalah pemulangan secara paksa dan pembatalan semua perjanjian."
"Saya mengerti." Si wanita tua mengangguk. "Terima kasih." Sosoknya perlahan memudar dan menghilang seutuhnya.
Aku mengeluarkan selembar kertas baru dari laci meja dan melemparkan pandangan ke antrean panjang di depan pintu gerbang, tidak jauh dari tempat dudukku. "Selanjutnya!"
Apa kamu tahu salah satu kisah tentang bulan purnama yang jarang diketahui orang?
Jadi begini. Setiap bulan purnama muncul, batas antara dunia kita dengan "dunia sana" akan berubah menjadi sangat tipis. Saking tipisnya, arwah-arwah penasaran yang ada di baliknya akan berlomba-lomba untuk menerobos demi menyelesaikan urusan mereka di dunia atau hanya sekadar untuk menakut-nakuti manusia.
Oke. Setidaknya masalah itu teratasi karena ada pihak berwenang yang ditugaskan khusus untuk menjaga wilayah perbatasan. Namun, pihak "dunia sana" mulai protes, dikarenakan pembatasan tersebut ternyata sangat menghambat hubungan diplomasi antara dua dunia dan juga mengekang HAA—Hak Azazi Arwah—untuk menyelesaikan urusannya yang tertinggal.
Oleh karena itu, dibangun gerbang khusus yang tersebar di seluruh dunia, yang hanya akan terbuka di bawah bulan purnama. Gerbang tersebut sangat besar, sepasang lempengan baja kokoh setinggi 5 meter dengan berbagai ukiran aneh di permukaannya yang berwarna keperakan. Para arwah dengan misi tertentu akan diizinkan untuk melewatinya, dengan syarat harus melapor pada penjaga gerbang. Di seluruh dunia terdapat puluhan keluarga yang terpilih untuk mengemban tugas sebagai penjaga ini secara turun-temurun.
Percayalah. Dunia ini jauh lebih gila dan kompleks dari perkiraanmu. Bersyukurlah karena kamu tidak harus terlibat dalam semua keabnormalan ini.
Namun, pembuatan gerbang ini terbukti tidak begitu efektif. Masih banyak arwah yang berhasil meloloskan diri dan beberapa di antaranya sangat suka berkeliaran di rumah sakit tempatku bekerja. Analoginya hampir sama seperti penjara di negara ini. Kalau kamu memiliki "power" lebih, maka kamu bakalan bisa plesiran sesuka hati. Eits, tolong jangan berpikiran kalau para arwah meloloskan diri dengan cara menyuap penjaga gerbang—kami adalah pekerja terhormat. Beberapa jenis arwah hanya lebih kuat dIbanding yang lain. Saking kuatnya, mereka bisa berpindah dimensi tanpa harus menggunakan akses gerbang.
Arwah seorang laki-laki datang mendekat dan duduk di kursi yang ditempati wanita tua sebelumnya. Terlihat masih sangat muda, sayang sekali. Salah satu hal yang kupelajari langsung dari kerja sambilan sebagai penjaga gerbang sekaligus petugas BAPAㅡBiro Administrasi dan Perizinan Arwahㅡadalah bahwa kematian sama sekali tidak mengenal waktu dan usia.
"Apa yang bisa saya bantu?" Aku tersenyum, berusaha untuk tetap bersikap ramah dan profesional.
"Anu ... itu ...." Anak itu terlihat begitu gugup. Seandainya dia masih hidup, saat ini pipinya pasti sudah bersemu merah.
"Katakan." Aku sudah siap untuk menulis formulir surat perjanjian. Ini nantinya berfungsi untuk mengikat arwah agar mereka tidak berbuat seenaknya ketika diizinkan berkeliaran di dunia. "Apa urusanmu yang tertinggal?"
"Itu ... aku lupa menghapus riwayat pencarian di browser."
Barusan adalah salah satu dari sekian banyak pengakuan unik yang sukses membuatku bungkam.
Aku belum pernah merasakan mati, tapi sungguh, kenapa permintaan arwah-arwah ini banyak yang aneh? Apakah hal sekecil apa pun memang berpotensi untuk membuat manusia jadi arwah penasaran? Sudah begitu banyak hal lucu bin absurd yang kudengar selama delapan tahun karirku di bidang ini.
Ada yang mau memantau apakah suaminya langsung menikah lagi atau tidak. Ada yang ingin menyatakan perasaan pada gadis incarannya sejak lama. Ada yang berniat menghantui orang yang membunuhnya. Ada yang selama hidup tidak pernah bepergian dan ingin memanfaatkan kesempatan jadi arwah untuk berkeliling dunia secara gratis.
Namun, manusia memang gudangnya penyesalan, bukan?
Satu demi satu arwah telah selesai kulayani. Waktu hampir menunjukkan pukul 12 malam. Kulirik gerbang dan semangatku langsung luruh melihat antrenan yang masih mengular tak habis-habis. Padahal ada 5 pos yang dibuka—yang dijaga oleh anggota keluargaku yang lain—tapi tidak terlihat pengurangan yang signifikan dalam panjang antrean.
"Permisi."
Kali ini yang datang adalah arwah seorang pria muda berambut kecokelatan.
"Ya." Aku mengambil lembar formulir yang baru. "Apa yang bisa saya bantu?"
"Di masa-masa terakhirku, aku sama sekali tidak punya teman bicara."
Aku terenyuh mendengarnya. Bayangkan tidak ada seorang pun yang menemanimu ketika kamu menghembuskan napas terakhir. Apa ada level kesepian yang lebih tinggi dari itu?
"Baik. Lalu?"
"Aku hanya butuh keberadaan seseorang." Pria itu itu menatapku dalam-dalam. "Orang yang bisa menjadi teman bicara. Sebentar juga tidak apa-apa."
"Mohon maaf, Pak." Aku sebenarnya rada tidak tega mengatakan ini, tapi mau bagaimana lagi. "Tapi Anda mengerti kan dengan kondisi Anda sekarang? Sangat sedikit orang yang bisa melihat Anda." Ekspresinya berubah suram dan aku buru-buru menambahkan. "Atau Anda punya kenalan yang punya kelebihan istimewa?"
Pria itu menggeleng.
"Kamu bisa melihatku, kan?" tanyanya sambil tersenyum. "Kalau begitu, kamu, tolong temani aku."
Di bawah bulan purnama, tiba-tiba saja aku dipertemukan dengan sosok yang tak terduga.
Sepertinya malam kali ini akan lebih panjang dari biasanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
One Day in a Full Moon
Paranormal[Cerita Pendek] Setiap malam bulan purnama, Sherin bekerja sebagai penjaga gerbang penghubung dunia manusia dan dunia arwah. Suatu hari, dia bertemu arwah istimewa dengan permintaan yang tidak biasa. [Cerita ini adalah versi rewrite dari cerpen berj...