Empat

60 20 0
                                    

"Kamu melakukan ini tiap bulan?"

Satu arwah lagi selesai kulayani. Aku meregangkan kedua tangan di sisi tubuh dan melemaskan leherku yang terasa kaku. Barusan adalah pertama kalinya Angga mengajakku bicara sejak satu jam yang lalu. Entah apa asiknya berdiri diam di sana sambil menyaksikanku bekerja mengurusi pemberkasan para arwah.

"Begitulah," jawabku seraya mengangguk. Sebuah kuapan lolos dari mulutku. Aku buru-buru menutupinya dengan tangan, tapi terlambat. Angga sudah keburu melihatnya dan tertawa kecil.

Detik pertama, aku merasa malu karena menguap lebar-lebar di depan cowok tampan. Detik berikutnya, aku tersadar. Setampan apa pun, dia sudah bukan manusia. Kenapa aku harus jaga image segala?

"Pekerjaanmu menarik," tukasnya pada akhirnya.

Oh, aku tidak percaya dengan apa yang barusan kudengar. Apa maksudnya dengan "menarik"? Terpaksa mengurusi permintaan aneh para arwah setiap bulannya dia bilang "menarik"?

"Tidak," jawabku blak-blakan. "Aku lebih suka pekerjaan asliku."

Angga kembali tertawa. "Tentu saja."

"Memangnya kamu tahu aku kerja apa?"

"Apa?"

Entah hanya perasaanku saja atau dia memang tidak begitu tampak penasaran.

"Aku perawat." Melihat arwah berikutnya sedang menuju ke arahku, buru-buru kukeluarkan kertas perjanjian yang baru. "Rasanya memang aneh. Mengurusi orang hidup dan yang sudah meninggal di saat yang bersamaan. Tapi mau bagaimana lagi?"

Angga kembali terdiam dan baru lanjut berbicara setelah arwah barusan pergi.

"Tapi kamu terlihat menyukai pekerjaan ini."

Kuanggap perkataannya yang ini sebagai pujian.

"Mereka memang sudah menemui akhirnya masing-masing, tapi itu belum 'akhir' yang benar-benar akhir." Aku menunduk sambil memutar-mutar bolpoin di jariku. "Entah apa yang akan mereka hadapi setelah ini. Jadi walaupun tidak bisa membantu urusan mereka di dunia sana, setidaknya aku ikut memfasilitasi supaya perjalanan mereka dimudahkan."

Tidak terdengar balasan. Aku buru-buru menoleh ke samping, takut Angga benar-benar kabur ketika aku terlalu larut bercerita. Namun, dia masih berdiri di sana. Memandangiku dengan seksama.

"Kenapa?" Dia mengangkat sebelah alisnya, terlihat kebingungan. "Lanjutkan. Aku suka mendengarmu bicara."

"Kamu ada di sini bukan untuk mendengarku bicara," balasku sewot. Katanya dia butuh teman bicara, bukan? Berarti seharusnya akulah yang lebih dominan berada di posisi pendengar. "Giliranmu. Apa pekerjaanmu dulu?"

"Direktur."

Aku tertegun mendengarnya. Bukan. Aku bukannya terkejut dengan pekerjaan mantan manusia di sebelahkuㅡkarena sesungguhnya tidak ada yang membedakan manusia setelah mereka meninggal, selain amal dan ibadahnyaㅡtapi lebih ke sejarah bagaimana dia meregang nyawa.

Kembali kupandangi wajahnya dan kali ini bicara dengan lebih berhati-hati.

"... dan kamu meninggal sendirian?"

Bukankah seorang direktur seharusnya selalu dikelilingi banyak orang? Minimal dia punya beberapa asisten atau pembantu yang selalu ada di dekatnya.

Pembicaraan kami disela kedatangan arwah baru. Aku berusaha bekerja lebih cepat agar bisa segera mendengar jawabannya.

"Akhir yang kurang mengenakkan, bukan?" Angga malah menanggapinya dengan tertawa. "Sekarang keluargaku pasti sedang sibuk memperebutkan warisan dan aset perusahaan."

Aku masih memandanginya prihatin. Setidaknya aku mulai mengerti kenapa urusannya yang tertinggal sama sekali tidak ada hubungannya dengan keluarga.

"Sherin."

Aku sontak berdiri dari kursi. Tidak jauh di depanku, tampak kakek sedang melangkah menghampiri. Beliau bertindak sebagai supervisor, tidak lagi turun tangan langsung untuk mengurusi berkas. Makanya agak horor mendengarnya tiba-tiba memanggilku begini. Apa karena aku terlalu banyak mengobrol dengan Angga?

"Kakek, akuㅡ"

Aku sudah bersiap untuk membela diri, tapi kakek menyela dengan mengatakan hal tak terduga.

"Biar kakek yang gantikan. Kamu istirahat saja sana." Seolah menyadari tampang heranku, kakek melanjutkan. Kali ini pandangannya tertuju ke Angga. "Sepertinya dia lebih membutuhkanmu."

Dari sudut mataku, kulihat Angga mengangguk hormat.

***

One Day in a Full MoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang