“Aku meminta maaf”
Alis Taeyeon terangkat tinggi mendengar perkataan lelaki itu yang terkesan penuh penyesalan. Tangan kirinya mengambil ponsel yang tadi terjepit di antara telinga dan bahu sebelah kanan.
“Tunggu sebentar” kata Taeyeon singkat seraya membalikkan ponsel di atas meja. “Kalian perbaiki dulu bagian yang salah. Kita lanjutkan lagi setelah istirahat siang” perintahnya kepada dua orang bawahan yang sedang berada di dalam ruangan.
Suara alas sepatu yang beradu dengan permukaan lantai menggema di ruangan yang sepi. Taeyeon mengunci pintu dan menutup tirai jendela, lalu kembali duduk di balik meja kerja yang berantakan. Dia menempelkan ponsel di telinga, “apa kamu bilang?”
“Aku sadar bahwa aku tidak pantas mendapatkan maaf darimu tapi—“
“Nah, itu kamu sudah tahu” sela Taeyeon sambil memijat pelipis kepalanya.
“Aku benar-benar menyesal. Bisakah kita bertemu?”
“Tidak bisa. Pekerjaanku sangat banyak” Taeyeon memejamkan mata kemudian melempar punggung pada sandaran kursi.
“Dari dulu juga selalu banyak pekerjaan tetapi kamu punya sekretaris yang bisa diandalkan” desak pria di seberang sana.
“Dengar Leeteuk, jangan meneleponku lagi. Hubungan kita sudah lama berakhir. Aku tidak mau mendengar apa pun yang berhubungan denganmu” Taeyeon memutus sambungan telepon secara sepihak.
Setengah jam berlalu, Taeyeon masih diam termenung di tempat yang sama. Sorot matanya yang sayu memandang langit-langit ruangan bernuansa putih dengan ditemani alunan melodi lembut dari koleksi musik klasik. Meski kisah mereka telah lama usai, mengapa hatinya masih terasa sakit. Tiba-tiba terdengar nada dering ponsel berturut-turut yang menandakan adanya beberapa pesan masuk.
Taeyeon membaca setiap baris pesan yang dikirimkan oleh Tiffany. Makanan barat bukan favoritnya tetapi dia pikir tidak ada salahnya mencoba menu yang berbeda. Ibu jarinya bergerak cepat mengetik ‘ya tentu, aku akan tiba di rumah sekitar pukul 12.10’
Selama lima menit berjalan Taeyeon terus menggerutu lantaran barisan mobil yang terlampau panjang di persimpangan lampu lalu lintas. Satu jam — waktu yang diberikan kepada seluruh pekerja untuk beristirahat. Dan sekarang sudah hampir sepuluh menit dia terjebak kemacetan.
Itu sudah jelas.
Dia pasti terlambat.
***
“Tiffany?” teriaknya dari pintu depan sembari melepaskan sepatu.
“Ya, aku di dapur” dia bergegas mencuci telapak tangan. Melepas simpul tali di belakang pinggang dan melipat celemek merah muda. Dengan kedua tangan yang setengah basah, Tiffany menyajikan hidangan utama ke meja makan. “Aku kira kamu tidak jadi pulang”
“Terjadi kecelakaan di jalur utama yang menyebabkan macet total tapi itu sudah ditangani dengan baik”
“Kamu masuk kerja jam satu, kan?”
“Hm..” Taeyeon mengangguk.
“Itu berarti hanya tersisa tiga puluh menit” gumamnya sambil memotong lasagna secara vertikal dan horizontal. Tiffany mengambil potongan pertamanya dari sudut kiri atas untuk diberikan kepada Taeyeon. “Maaf ya membuatmu jauh-jauh pulang ke rumah”
“Itu bukan salahmu. Beberapa hari ini lidahku memang sedang menginginkan makanan Italia jadi aku tidak mungkin melewatkan yang satu ini” Taeyeon bertanya-tanya apakah malaikat juga mencatat kebohongan demi kebaikan sebagai sebuah dosa.
“Tapi kamu harus kembali ke kantor dalam waktu singkat” sahut Tiffany dengan tatapan mata menyesal.
Taeyeon mulai menyendok makanannya ke dalam mulut, mengunyah sebentar lalu menelannya. Dia melanjutkan, “jangan khawatir. Aku terbiasa makan dengan cepat”
“Apa kamu tahu jika kebiasaan buruk semacam itu bisa berdampak pada kesehatan lambung?” seru Tiffany melipat kedua lengan di depan dada. Secara refleks Taeyeon memperlambat gerakan rahang layaknya seorang pasien yang menderita sakit gigi. Tiffany terkekeh, “bagaimana rasanya?”
“Ini sangat enak. Aku bisa merasakan daging dan keju yang meleleh di dalam” kali ini mulutnya berkata jujur.
Tiffany tersenyum lebar, “aku akan membungkus beberapa potong untuk kamu bawa ke kantor”
“Eh, kenapa? Aku bisa menghabiskannya di sini. Kamu juga belum menyentuh piringmu sama sekali”
“Taeyeon, kamu benar-benar akan terlambat” ucapnya menggelengkan kepala. Tiffany menggeser kursi ke belakang kemudian berjalan ke dapur mencari kotak kecil. Itu mengagumkan bagaimana dia dapat menemukan barang-barang dengan cepat padahal baru lima hari tinggal di sana.
“Atau mungkin tidak” gumamnya pada diri sendiri. Dia membuka layar ponsel dengan sidik jari dan menekan satu angka yang terhubung pada panggilan cepat.
“Halo” sapa seorang wanita.
“Hei, Seohyun. Aku tidak bisa kembali ke kantor siang ini. Tolong sampaikan kepada Nyonya Lee bahwa aku mengambil cuti setengah hari karena adanya kepentingan keluarga yang mendesak” sekali lagi dia berbohong pada hari ini mungkin gadis itu akan mendapatkan hadiah piring cantik.
“Baik Nona Kim” jawab sekretarisnya dengan sopan.
“Yah, sudah aku katakan berulang kali jangan memanggilku begitu di luar jam kerja”
“Tapi kita sekarang sedang membahas pekerjaan, kan?” sanggahnya dengan tawa kecil yang tertahan.
“Uh, terserah padamu saja. Jika ada email penting segera hubungi aku”
Setelah Taeyeon menutup teleponnya, Tiffany hanya bisa menatap gadis itu dengan raut wajah kebingungan. Masing-masing tangan memegang kotak makan kosong dan tutupnya secara terpisah. Dengan sebelah alis terangkat wanita yang lebih muda bertanya, “jika aku tidak salah dengar kamu tiba-tiba mengajukan cuti, benar?”
“Ya” jawabnya ringan seolah itu bukan masalah besar. Dia bahkan kembali menyantap makanan yang ada di piring dengan lahap.
Tiffany menggigit bibir bawahnya, terlihat agak bimbang untuk bertanya lebih jauh. Ya, secara teknis pertemanan mereka berjalan lancar. Itu jauh, jauh, jauh, lebih baik dari yang pernah mereka bayangkan.
Misalnya ketika Taeyeon selesai bekerja, terkadang dia akan menelepon untuk menanyakan apakah ada barang yang Tiffany perlukan sehingga dia dapat membelinya dalam perjalanan pulang.
Atau ketika Taeyeon pulang larut malam, Tiffany menyuguhkan dua cangkir teh chamomile untuk dinikmati bersama. Itu sangat membantu dalam menjaga kesehatan dan meningkatkan kualitas tidur.
Namun sekarang gadis itu ragu-ragu memikirkan apakah hubungan mereka cukup dekat untuk bisa berbagi masalah. Ah persetan, dia harus bertanya jika tidak mau dibayang-bayangi rasa penasaran.
“Kamu ada masalah keluarga?”
Taeyeon menatap Tiffany sejenak, lalu menopang dagu dengan kening berkerut. “Masalah apa?”
“Tadi kamu bilang di telepon begitu”
“Oh..” dia tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepala.
Oh? Itu bukan jawaban yang ingin dia dengar. Dari tadi Tiffany cukup waswas membayangkan jika sesuatu hal buruk sedang menimpa keluarga temannya. Dan setelah mengumpulkan keberanian untuk bertanya, dia hanya mendapat balasan, oh?
Sangat sulit dipercaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm not that desperate (Taeny)
FanfictionMereka pernah menjadi teman dekat, sangat dekat, hingga orang-orang melihat mereka bagaikan sepasang sepatu kiri dan kanan yang tak terpisahkan. Tapi itu dulu, sebelum negara api menyerang. Dia mengetuk pintu rumah di pagi buta menggunakan setelan c...