Prolog

18 4 0
                                    

HUJAN semakin deras yang berhasil membuat basah tubuh seseorang dengan pakaian serba hitam yang di kenakannya, hawa dingin yang menusuk membuat tubuhnya terasa ngilu namun tidak sebanding dengan rasa sakit yang begitu menusuk hati nya. Ia menangis tersedu sedu sambil memeluk papan nisan dengan kepala yang terus menunduk serta air mata yang sudah bercampur dengan air hujan.

Semua orang sudah meninggalkan area pemakaman sejak 1 jam yang lalu, tetapi wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik itu enggan untuk bangkit dari gundukan tanah yang masih merah itu. Ia menangis meraung raung menatapi putranya yang sudah terbaring di bawah tanah

"Bunda mohon.. Ayo bangun! Bunda janji sama kamu, bunda bakalan anterin kamu sekolah, bunda bakalan ambil rapot kamu, bunda---". Kata katanya menggantung seolah ia sudah tidak kuat lagi untuk berbicara.

Terdengar suara langkah kaki yang membuat wanita itu menoleh kearah suara tersebut.

"Bunda..." Panggilnya dengan suara yang bergetar

Renata bangkit lalu menatap tajam seseorang yang baru saja memanggilnya itu.

"JANGAN PANGGIL SAYA DENGAN SEBUTAN BUNDA!! SAYA MERASA JIJIK DI PANGGIL BUNDA OLEH SEORANG PEMBUNUH!! KAMU PEMBUNUH! KAMU YANG BUNUH ANAK SAYA!! AAAAAAA MATII KAMU MATIIIIII!!!".

Renata terus menarik narik kerah baju bocah laki laki berparas tampan yang memanggilnya bunda itu. Renata sangat marah, Renata sangat membenci bocah di hadapannya ini dan bahkan untuk mendengar suaranya pun saja renata sudah merasa jijik.

"Bunda... Afkar bukan pembunuh"

"Lo bisa berhenti nyembunyiin luka di balik ketawa lo gak? Dengan terlihat seakan lo kuat itu bikin gue sakit, Kar"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo bisa berhenti nyembunyiin luka di balik ketawa lo gak? Dengan terlihat seakan lo kuat itu bikin gue sakit, Kar".

"Lo ngomong apa sih Gar? Gue gapapa hahaha serem lo kalau tiba tiba serius kayak gitu, udah mirip setan tambah mirip".

"STOP AFKAR! Pleas... Gue mohon sama lo, berhenti buat bohongin diri lo sendiri. Gue kayak gak ada gunanya jadi sahabat kalau sampe lo sedih sendirian. Gue, Abi sama kenan selalu ada buat lo".

Afkar tersenyum getir dengan mata yang begitu sayu, ia merasa beruntung memiliki sahabat seperti mereka tapi Akfar juga enggan terlihat menyedihkan di depan sahabatnya itu. Ia selalu berusaha menutupi semua luka lalu ia tutup rapat rapat di hatinya.
Biarkan luka ini ia rasakan sendiri, Afkar tidak ingin membuat sahabatnya itu ikut merasakannya.

"Kadang gue capek, Ga. Tapi gue selalu yakin mungkin hari esok ada secuil kebahagiaan buat gue, kalau besok masih gak ada mungkin lusa, kalau lusa gak ada paling minggu depan, kalau minggu depan tetep gak ada mungkin tahun depan, kalau tahun depan masih tetep gak ada? Mungkin kebahagiaan gue bukan di dunia, tapi di surga nanti".

"Gua janji bakalan terus jadi sabahat lo apapaun yang terjadi, gue janji akan hal itu, Afkar Abyanza Dimaskara".

***

Bisakah kalian melihat sedikit saja bagaimana perjuanganku untuk tetap hidup di saat mentalku di pukul habis habisan oleh takdir yang aku pun tidak pernah menginginkannya?

Apakah tidak ada secuil kebahagiaan untuk ku, Tuhan? Tidak banyak yang aku inginkan, aku hanya ingin tawaku lepas karena bahagia bukan tertawa lepas karena menyembunyikan luka.

Jika semua orang tidak menginginkanku lantas mengapa aku terlahir? Aku tidak menyalahkan takdir tapi ini terlalu rumit untuku.

Aku berdoa dengan sedikit memaksa agar Tuhan membuat Bunda menyayangiku, kalau permintaan itu masih belum terwujud tolong ambil saja aku Tuhan.






---•AFKAR•--

AFKARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang