Bab 2

10.2K 200 8
                                    

Aku bertemu lagi dengan Pakde Wanto hampir lima tahun kemudian setelah aku pergi ke ibukota untuk kuliah. Keluargaku bukan orang kaya jadi aku sungguh bahagia ketika aku dapat beasiswa. Sayangnya aku masih harus memikirkan biaya hidup. Entah kenapa keberuntungan mengikutiku. Aku berhasil bisa ngekos gratis di sebuah kosan yang bawahnya warteg. Jadi kalau aku tidak kuliah, aku membantu ibu kos untuk menjadi pelayan.

Aku masih tak percaya dengan apa yang aku lihat saat aku melihat Pakde Wanto di warung. Kukira aku sedang berkhayal karena memang aku sering membayangkan sosoknya. Meskipun Pakde Wanto tidak pernah ngobrol denganku langsung tapi imajinya tak hilang dari kepalaku. Aku ingat rambutnya yang putih, dadanya yang bidang dan kulit cokelat tuanya.

Tapi setelah yakin itu Pakde Wanto aku akhirnya menyapanya. Setelah dua tahun di Jakarta, komunikasiku jauh lebih bagus sehingga aku berani menyapanya.

"Pakde Wanto?" Tanyaku.

Dia menoleh kemudian dia menjawab, "Arif?"

Betapa bahagiany aku ternyata dia masih ingat denganku. Walaupun Pakde Wanto memakai celana training penuh lumpur dan tangan yang kotor dengan kaos partai yang lusuh, di depankunia nampak jauh lebih ganteng dari artis manapun. Aku semakin gembira ketika mendengar namaku keluar dari mulutnya.

Dia kaget kenapa aku bisa disini. Aku bilang bahwa aku ngekos disini. Dia kebetulan ternyata sedang mengerjakan pembangunan bangunan dekat sini. Warteg langganannya tutup dan dia makan disini.

"Ada kamu disini, aku akan makan tiap hari disini."

Aku senang sekali karena Pakde Wanto menepati janjinya.

***

Aku sadar benar bahwa aku suka laki-laki tapi selama kuliah aku tak pernah berani mencari tahu bagaimana caranya menjalin hubungan dengan pria karena aku masih takut. Ada suara suara ustadz di kepalaku dan juga khawatir kalau orang lain tahu aku tidak normal. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Seperti kebanyakan pria gay, aku mengkoleksi video porno homo dan kelak Pakde Wanto tahu akan ini.

Malam itu Pakde Wanto datang saat warung mau tutup. Dia kecewa karena mengira makanan sudah habis. Tapi aku bilang, "Buat Pakde, masih ada."

Aku menyiapkan makanan dan beres-beres. Karena warung sudah tutup, aku bilang basa-basi, "Mau makan di kamarku saja, Pakde? Bisa nonton TV."

"Oh iya boleh. Ada bola malam ini," katanya.

Dalam perjalanan ke kamar kosanku, aku jadi deg-degan. Waduh aku akan berduaan dengannya. Aku harus bagaimana? Kamarku tidak bagus bagus amat.

Cuma ada tiga kamar di kosan ini. Sebenarnya ibu kos tidak berniat menyewakan kamar tapi tiga anaknya sudah menikah semua dan menurutnya daripada mubadzir mending dijadikan kos karena dekat sini ada kampusku. Dua kamar ada di lantai satu, hanya kamarku yang diatas, samping gudang. Aku diberi kamar yang paling luas dengan kamar mandi di dalam karena aku menjadi asisten ibu kosku.

Begitu membuka kamar, aku langsung minta maaf ke Pakde Wanto.

"Maaf Pakde, kamarnya berantakan."

"Ini lebih bagus, Dek Arif, daripada bedeng tempat tinggal Pakde."

"Emang yang dimana sih?"

"Itu yang di pinggir jalan persis."

Aku menyalakan TV dan membiarkan Pakde Wanto menonton sambil makan. Dalam dekat aku bisa mencium aroma tubuhnya. Benar kata orang, sekecut apapun bau keringat, kalau kita sudah suka dengan orang tersebut, baunya terasa menggairahkan. Aroma Pakde Wanto entah kenapa terasa jantan sekali. Campuran keringat dan bau rokok. Aku benci asap rokok tapi aku sama sekali tak keberatan dengan Pakde Wanto merokok. Karena itu ketika dia bertanya apakah boleh merokok, aku membiarkannya.

Pakde WantoWhere stories live. Discover now