Rasa tak nyaman ini telah kurasakan bertahun-tahun yang lalu, sejak aku melihatnya berbalik pergi dan tak menoleh lagi.
Pukul 14: 49
Terdengar helaan napasku sendiri, Ku nikmati udara sejuk dari pendingin ruangan di kafe ini, dan sedikit nyaman dengan alunan melodi sexsophone dari lagu romantis tahun 90-an. Sedikit gugup. Kuraih espreso, satu-satunya minuman yang menemani kesedirianku, selagi kunantikan kehadirannya.
Aku sengaja memilih duduk di salah satu sofa dengan meja melingkar di sudut paling akhir menghadap tembok kaca. Selain aku akan puas menatap wajahnya, aku ingin pertemuan yang lama dinantikan ini akan membawa kesan medalam bagiku juga baginya. Membayangkan bagaimana dia akan duduk didepan sana. dihadapanku, terpisahkan meja penuh hidangan yang kami pesan. Mendengar setiap kata-kata dari bibirnya yang banyak bicara, pasti akan banyak sekali cerita yang akan ku dengar, cerita yang akan mengundang tawa. Setalah ribuan purnama tidak berjumpa akan banyak perubahan dan segala macam peristiwa yang telah kami lewati tanpa bersama. Tapi apapun yang akan dia ceritakan nanti, tentu aku tidak sabar untuk melihat wajahnya.
Entah untuk keberapa kali aku merasakan degub jantungku sendiri, hingga merasakan denyutan di dada dan desiran tak nyaman merundungi kelabunya hati yang selama ini menolak untuk mengakui kalau aku memang merindukannya. Rasa tak nyaman ini telah kurasakan bertahun-tahun yang lalu, sejak aku melihatnya berbalik pergi dan tak menoleh lagi, sering juga kurasakan jika pikiranku tak sengaja mengeja namanya dalam bibir terkatup rapat, dan selalu hadir dalam hal apapun yang kulakukan jika itu menyangkut dirinya, hampir semua yang kulakukan menyangkut tentangnya. Setiap kali itu terjadi, denyutan tak nyaman selalu kurasakan bersamaan dengan wajah pucat pasi yang selalu menghatuiku setiap kaliku bernapas.
Kali ini aku mencoba tenang, pertemuan ini memang sangat kunantikan sekaligus sangat menakutkan. Tapi bagaimana lagi aku benar-benar sangat merindukannya, benar-benar ingin melihat wajahnya, melihat apapun tentangnya, biarpun jika dia marah dan memakiku. atau jika , sekalipun aku harus di rundung rasa bersalah dan malu. Biarlah asalkan aku dapat melihat wajahnya, dengan begitu aku akan tenang dan tahu bahwa dia baik-baik saja.
Pukul 14:51
Sedikit lagi menuju pukul tiga, mataku berpendar ke sagalah arah. Aula kafe cukup besar, dengan lampu-lampu menjuntai, beberapa lukisan retro genik menghiasi dinding, ada lebih dari sepuluh meja dengan sofa yang melingkar hampir penuh oleh tamu, ku dengar orang-orang bercakap dengan suara rendah. Mataku menangkap 4 gadis muda sedang asik mengobrol melingkari meja. Salah satu gadis berambut panjang yang memiliki wajah sedikit mirip seseorang yang paling kukenal menunjukkan sesutu di hanphonenya hingga yang lainnya berkerumun, kemudian semuanya tertawa. Tak lama semua kompak untuk mengecilkan volume suara, mungkin sadar dengan keberadaan mereka.
Entah apa yang mereka bicarakan. Melihatnya aku tidak tahan untuk tidak tersenyum, tapi melihat di sekelilingku yang ramai tidak mungkinkan bagiku untuk tersenyum sendirian. Jadilah aku menunduk, sambil melihat ke layar pipih yang redup sedari tadi di genggamanku. Saat kusentuh menunjukkan waktu yang terterah.
Pukul 14:55
Kuletakkan benda pipih itu ke atas meja, belum ada kabar, pesan yang kukirimkan juga tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa pesan itu telah di baca. Mungkin di perjalanan. Kali ini aku menatap lagi gadis berambut panjang yang sedang mendengar teman di sebalahnya. Aku termangu sesaat, setelah kuteliti gadis muda itu sama sekali tidak mirip dengan seseorang yang kunantikan, hanya saja rambut panjang yang dimiliki gadis itu memang mengingatkanku pada Rhea.
Aku masih merekam jelas bagaimana wajah Rhea dalam ingatan yang kusimpan teguh dalam relung hatiku, dan membawa serta nama dan setiap jengkal sosoknya kemanapun aku pergi. Shandrhea namanya, kelihatan seperti gadis lainnya. Wajahnya oval, bermata sayu dengan tatapan teduh yang selalu kusuka, hidungnya mancung ,pipinya tirus dan bibirnya berwarna merah muda. Rhea memiliki tubuh yang kecil dan ramping, hampir semuanya rata. Untuk itulah Rhea selalu terlihat lebih muda dari usianya.
Aku mengenal Rhea sejak pertama kali masuk taman kanak-kanak. Tidak kutemuka hal menarik dari dirinya kecuali bahwa Rhea satu-satunya anak perempuan berambut panjang kala itu, rambutnya tergerai kadang dikepang sering kali jadi permainan bocah-bocah nakal. Rhea menangis, mengadu pada orang tuanya. Keesokkan paginya Rhea sudah berambut sebahu. Aku mendekatinya kala itu, karena didesak orang tuaku untuk meminta maaf. Rhea diam saja, masih marah. Saat aku memberikan pita biru yang baru, karena miliknya sudah kubuang. Dia kesenangan. Tapi sejak saat itu, Rhea tidak pernah lagi berambut panjang.
Kupikir dulu, mengapa aku menyukai Rhea mungkin karena dia anak yang baik dan mudah di andalkan dalam hal apapun, karena ketika kita kecil hampir tidak bisa membedakan dengan siapa kita bermain selagi apa pun yang kita lakukan terasa begitu menyenangkan. Setiap waktu dihabiskan untuk tertawa pada hal-hal yang lucu, menangis disebabkan adanya luka di lutut Rhea, berkelahi jika hanya memperebutkan mainan yang tidak seberapa, bertengkar dengan melipat tangan di dada dengan mata melotot polos tanpa adanya kesalahan yang pasti. Dan orang tua kami biasanya akan membujuk aku dan Rhea berteman kembali.
Pernah aku benar-benar jengkel padanya, karena Reha selalu mengikutiku kemanapun aku pergi, kemanapun aku bermain dan tidak melapaskanku sedikit pun.
Saat itu aku bergabung dengan anak laki-laki lainnya bermain petak umpet di sekolah, saat jam istirahat ke dua. Aku membiarkan saja Rhea mengikutiku kemanapun aku bersembunyi. Tapi persembunyian kami ketahuan karena keberadaan Rhea yang tidak menjaga dirinya sendiri.
Aku marah, aku berlari meninggalkannya untuk bersembunyi lagi ke tempat yang aman untuk diriku sendiri. Tapi kurasa Rhea tidak terlalu peka dengan keadaanku saat itu, jadi dia ikut berlari mengejarku.
Bugh !
Hingga ku dengar dia terjatuh. Aku menoleh, teman-temanku berteriak untuk meninggalkannya. Tapi aku tidak bisa, aku sangat mengkhawatirkannya saat itu.
Jadi aku berbalik ke arah dimana Rhea sudah terduduk mengaduh pada lututnya yang terluka, ku lihat dia menangis. Kalau cengeng kenapa ikut-ikutan main, aku menahan napas tak abis pikir.
Keberadaanku ketahuan oleh penjaga, harusnya aku kalah. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku membantu Rhea berdiri membawanya ke kelas, terdengar bisik-bisik dari orang-orang yang membicarakan kami---sebatas rumor dari pemikiran anak sekolah dasar, tapi waktu sudah cukup membuatku meradang. Bahkan beberapa teman yang bermain petak umpet mengataiku payah, karena aku mendadak tidak mau bermain lagi karena aku kalah.
Jadi aku membiarkan saja apapun yang dikatakan mereka. Aku memperhatikan kakak kelas yang bertugas sebagai dokter cilik mengobati luka Rhea dengan menahan jengkel kenapa Rhea masih tetap saja menangis padahal itu kesalahannya sendiri. Walau pun aku menemaninya, tapi aku tetap tidak mau bicara dengannya. Dan parahnya tangisan semakin menjadi, membutaku jadi malu.
Mataku melotot. Rasanya ini pertama kalinya aku menunjukkan marah padanya secara langsung. Tangisnya mereda, dia menatapku dengan bola matanya berkeredap polos penuh air mata. Dengan wajah memerah di tekuk marah. Dia tidak ada takut-takutnya.
" Aku nggak cengeng! aku nangis bukan karena jatuh ! " sahutnya tak mau kalah, tangisnya berhenti.
Alisku terangkat karenaa bingung. Cengeng ! ya cengeng saja.
" Aku nangis karena kamu ninggalin aku " katanya merengek nangis.
Aku terdiam, diamku bingung dan menganggap jika Rhea terlalu berlebihan. Ku pikir, harusnya akulah yang pantas marah karena dia terus mengikutiku, membuatku tidak tenang dan membuatku tidak bebas. Jadi aku mendiamkannya hari itu, dia pun begitu. Tidak ada pembicaraan apapun lagi setelahnya, hingga semua berakhir normal. Kami berteman kembali dengan sendirinya. Tidak ada yang memulainya duluan, hanya saja waktu itu mudah sekali bagi kami untuk melupakan masalah tanpa saling memaafkan.
Kupikir hari itu akan sama sengan hari-hari lainnya, tidak akan meninggalkan kesan yang begitu dalam. Bagiku juga bagi Rhea. Ternyata hari itu adalah ingatan yang paling tebal dari begitu banyak ingatan samar tentang masa kecil kami.
Sayangnya walau aku selalu mengingat, aku selalu terlambat untuk menyadari. Di kemudian hari, aku tahu semua masalah tidak bisa di selesaikan seperti ketika kami kecil dulu.
Ting
Suara bel berbunyi yangmenandakan pintu kafe itu dibuka oleh pendatang baru atau ditutup oleh tamuyang pergi dari kafe ini. cepat aku menoleh.....
Bersambung...
Cerpen ini sudah lengkap di Blog pribadi saya, kalian bisa baca gratis
https://pesonaretaelweb.blogspot.com/
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengakuan Pria Menikahi Wanita Malam
RomanceRasa tak nyaman ini telah kurasakan bertahun-tahun yang lalu, sejak aku melihatnya berbalik pergi dan tak menoleh lagi. Kumpulan cerita pendek