Awal Mula

9 2 0
                                    

"Kak Hanum! Berhenti dulu, kak!"

Gadis berparas jelita terlihat mencekal lengan kanan milik gadis lainnya. Empunya bernama Hanum Ziya. Ditepisnya cekalan itu seraya membalikkan tubuhnya.

"Jangan ikuti aku, Hanna! Aku benci kamu!" Hanum melangkah pergi.

Gadis bernama lengkap Hanna Ziya itu menundukkan kepalanya menahan rasa sesak yang lagi-lagi mendera hati lembutnya.

Salah satu koridor di suatu kampus yang ramai itu terasa memberat. Menanggung kesedihan Hanna beserta segala ucapan yang keluar dari mulut para mahasiswa yang sejak tadi ikut menjadi saksi bagi keduanya. Mereka saling berbisik keheranan melihat sepasang mahasiswi kembar yang jauh dari kata akur. Ditambah lagi kata kebencian menjadi akhir dari perbincangan keduanya.

Hanna pun beranjak pergi. Tungkainya ia bawa menuju gedung Fakultas Bahasa dan Sastra untuk kembali ke ruang kelasnya. Mata minimalisnya memperhatikan setiap anak tangga yang dipijak. Butuh melewati dua lantai untuk mencapai kelasnya yang berada di lantai tiga. Kenapa tidak gunakan lift saja? Ah, gadis itu selalu merasa mual dan pusing ketika menaiki lift.

Angin ringan meniup rambut hitam panjangnya yang tergerai bebas. Kedua tangan mungilnya mengepal di kedua sisi tubuhnya yang ramping, guna menahan tangisan yang sejujurnya ingin memaksa keluar. Dengan napas terengah-engah, Hanna memasuki ruang kelasnya. Ia mendapati sahabat masa kecilnya, Raka Abinaya, sedang duduk di samping kanan tempat duduknya. Hanna pun mendaratnya bokongnya di kursinya. Raka yang menyadari kedatangan Hanna hanya memperhatikan temannya yang lagi-lagi menampilkan raut sendunya.

"Jangan mikirin Hanum terus, Na. Ngga ada baiknya juga," cicit Raka membuat Hanna menoleh ke arahnya.

Hanna menceburkan bibirnya sebelum kemudian menjawab, "Gimana ngga dipikirin, Ka? Aku kangen bisa ngobrol bareng lagi sama dia. Hubungan saudara kembar juga ngga bisa bikin aku cuek sama dia," tutur Hanna dengan lirikan di akhir kalimat.

"Tapi dia bisa tuh nyuekin kamu. Tiga tahun pula. Seharusnya kamu juga bisa nyuekin dia," ujar Raka lebih terkesan memanas-manasi.

Hanna menghela napas. "Andai aja aku ngga punya hubungan batin yang erat sama dia, aku ngga akan sefrustasi ini. Kamu tau 'kan fisik aku lemah? Aku ngerasa sedih karena setiap aku sakit, sedikitnya dia juga ngerasain kesakitan itu, Ka. Apa alasan dia benci aku karena tubuh lemahku? Ahh, aku cape!"

Hanna menenggelamkan wajahnya ke dalam lipatan tangan di atas meja. Kalau saja ia tidak ingat sedang berada di dalam kelas, air mata tertahan itu sudah meluncur bebas sejak tadi. Raka yang mendengarnya hanya bisa diam. Ia tidak bisa mendebatkan hal itu di saat Hanna kembali menunjukkan sisi rapuhnya.

Hanna dan Hanum lahir dengan selisih jarak waktu lima belas menit. Hanna adalah adik, sedang Hanum adalah kakaknya. Namun, hubungan keduanya tidak berjalan mulus. Yang pasti, selama tiga tahun terakhir Hanna habiskan hanya dengan pengharapan bahwa Hanum akan menganggapnya lagi sebagai saudara kembar sekaligus adiknya. Lain halnya dengan Raka yang mengetahui alasannya sebab Hanum sendiri juga sering bercerita dengannya.

Semua berawal semenjak orang tua keduanya itu begitu membangga-banggakan Hanna yang selalu menjadi juara dalam bidang akademik semasa sekolah dasar hingga menengah pertama. Tahun pertama di bangku sekolah menengah atas menjadi awal kebencian Hanum terhadap Hanna. Tak hanya membanding-bandingkan Hanna dan Hanum, perlakuan kedua orang tua mereka pun mulai terasa berat sebelah. Hanna mendapatkan perhatian yang berlebih. Agaknya, Hanum mengerti saat itu mengingat kondisi tubuh Hanna yang berbeda dengannya. Namun, perbedaan kasih sayang itu makin kontras seiring berjalannya waktu. Hanum tak lagi dapat berpikir jernih. Pada akhirnya, kebencian terhadap sang adik bersarang di hatinya hingga detik ini.

Bersambung

Duri Sepasang ZiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang