Hanna membuka pintu rumahnya yang berwarna coklat mengkilat dengan pelan lalu melangkah gontai. Tak jauh dari posisinya, kedua netranya menangkap presensi sang ibu yang tengah duduk santai di sofa berwarna tosca di ruang keluarganya yang cukup luas sambil menonton sinetron kesayangannya.
Hanna perlahan mendekati Surga-nya dan mengambil tempat di samping kiri. Hanna menyandarkan kepalanya di bahu kiri sang ibu. "Ibu ngga kerja?" tanya Hanna dengan lirih.
Tanpa menoleh, sang ibu menjawab, "Pulang lebih awal, Hanna."
"Bu, kayanya inhaler-ku isinya udah habis," lapor Hanna membuat ibunya seketika menoleh.
Pandangan sang ibu membulat kala mendapati wajah pucat pasi anak bungsunya.
"Ya ampun, Han. Muka kamu pucet banget. Ke kamar aja, yuk." Hanna dituntun oleh sang ibu menuju kamarnya di lantai dua.
Bagian menapaki puluhan anak tangga terasa cukup berat bagi Hanna. Rasa sesak itu membuatnya tak berdaya.
Tibalah mereka di sebuah kamar yang didominasi warna biru muda. Sang ibu menuntun Hanna ke sudut kanan kamar, menghampiri ranjang bergaun kuning yang ditemani beberapa bantal dan guling lalu membaringkan Hanna di atasnya.
Ia berjalan keluar sebentar dan kembali dengan inhaler baru, mendudukkan dirinya di pinggir kasur lalu menyemprotkan inhaler itu ke dalam mulut Hanna hingga dada Hanna bergerak naik-turun secara teratur.
"Kamu pulang sendiri tadi?" Hanna hanya mengangguk menanggapi pertanyaan sang ibu. Lagipula kepalanya terasa pusing akibat efek samping pemakaian inhaler.
"Lain kali samperin Hanum, minta tolong sama kakakmu itu. Adiknya sakit malah cuek aja."
Hanna menyentuh tangan kiri sang ibu, meminta wanita itu untuk menghentikan perkataannya. "Udah, Bu. Aku ngga mau kalau sampai Kak Hanum denger dan makin menjauh dari aku. Aku ngga kenapa-napa kok," ujar Hanna seraya menerbitkan senyum semanis madu di wajah jelitanya.
Sang ibu hanya diam lalu mengelus surai hitam anak bungsunya penuh kasih sayang. Tanpa diketahui Hanna dan sang ibu, Hanum memperhatikan keduanya dari celah pintu yang tak tertutup rapat. Dadanya sedikit berat. Kepalanya juga terasa pening. Raut sedih dan cemburu tergambar jelas menghiasi paras jelitanya. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuh rampingnya.
"Aku makin benci kamu, Hanna."
***
"Hanna!"Suara berat menginterupsi langkah santai Hanna yang berniat pergi ke kantin seorang diri. Hanna menolehkan kepalanya ke belakang untuk mencari sumber suara.
Seorang lelaki tinggi bermata empat terlihat berlari kecil menghampirinya. "Han, kemarin aku disuruh pelatih buat diskusi masalah pembagian suara sama kamu. Kamu bisa ngga kalau waktu istirahatnya diganggu?"
Hanna berpikir sebentar. "Bisa, Van. Tapi aku ke kantin dulu ya, beli roti sama air minum. Kamu duluan aja."
"Yaudah, bareng aja. Kantin kan deket sama ruang padus." Hanna mengangguk kikuk. Hanna dan lelaki itu lantas berjalan menuju kantin.
Devan Radhitya, teman satu UKM-nya sekaligus kekasih dari saudara kembarnya. Sejujurnya, Hanna ragu untuk berjalan berdua dengan Devan. Khawatir jika Hanum melihat dan berpikir yang tidak-tidak.
Setibanya di kantin, Hanna bergegas mengambil apa yang dibutuhkannya. Namun, Hanna merasa sedikit kesulitan ketika ingin keluar dari lautan mahasiswa yang memenuhi kantin. Devan yang menyadarinya langsung membantu Hanna dengan menarik tangan kiri gadis itu.
Tanpa disangka, di ujung kantin sana, seorang perempuan memotret hal tersebut. Senyum miring tercetak pada wajahnya setelah tangkapan gambarnya itu ia kirim pada seseorang. Belinda Clarissa, seorang kakak tingkat kelewat cantik yang sudah lama iri dengan Hanna karena Hanna menjadi salah satu anggota paduan suara yang selalu mendapat pujian dari pelatihnya.
Di lain tempat, Hanum bersama teman-teman kelasnya tengah berbincang ria di dalam kelasnya. Hanum dan Hanna itu berbeda jurusan bahkan berbeda fakultas. Hanum memilih jurusan Pendidikan Matematika karena ia dengan urusan hitung-menghitung. Tiba-tiba saja gawai putihnya bergetar. Telihat notifikasi pesan masuk dari kontak bernama 'Kak Linda'. Kiriman gambar yang cukup memantik api di hati Hanum.
Genggaman pada benda pipih persegi panjang itu menguat. Tubuhnya tersentak seketika salah satu temannya mencolek lengannya.
"Ngeliatin apaan, Num? Sampe ngelamun gitu," tanya temannya, Sintia, dengan matanya yang melirik ke layar gawai Hanum.
Hanum sontak menyimpan gawainya ke dalam tote bag biru mudanya. "Ah, ngga. Ngga ada apa-apa kok." Hanum memasang senyum palsu.
Ingin rasanya ia menghampiri Hanna sekarang juga, tapi ia pun berpikir bahwa tak bebas jika harus berdebat di area kampus. Lebih baik ia menyimpan amarahnya hingga pulang nanti.
Hari pun cepat berlalu hingga tak terasa jarum pendek jam dinding sudah menunjuk angka empat sore. Waktunya gedung kampus memuntahkan isinya dan beristirahat dengan tenang. Seperti biasa, Hanna dan Hanum pulang dengan menaiki sepeda motornya masing-masing secara terpisah.
Seharusnya hari ini Hanum mengikuti perkumpulan UKM-nya, yaitu seni tari. Namun, ia lebih mengikuti nafsu amarahnya. Ia ingin segera tiba di rumah dan mendatangi saudara kembarnya.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Duri Sepasang Ziya
Cerita PendekTiga tahun telah berlalu. Hanna masih saja berusaha meraih hati Hanum. Kesalahpahaman tidak dapat dihindarkan. Lantas membuat sepasang Ziya makin terpuruk dalam kehampaan. Cover: Pinterest November, 2022.