Akhir Cerita

7 2 0
                                    

Hanum tiba di kediamannya setelah menempuh 25 menit perjalanan. Di sana, sepeda motor milik Hanna sudah terparkir apik. Ia pun memarkirkan sepeda motor miliknya di samping kiri sepeda motor milik Hanna. Hanum bergegas masuk, menyimpan tasnya di kamar lalu mendatangi kamar Hanna. Tak lupa ia kantongi gawai putihnya.

Di depan pintu coklat kamar Hanna, tangannya tampak mengepal kuat. Jika tak ada kejadian siang tadi, Hanum sama sekali tak ingin menginjakkan kakinya di kamar Hanna. Mengesampingkan pikiran itu, Hanum pun membuka pintu itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu.

Hanum mendapati Hanna yang sedang duduk di pinggir kasur yang tampaknya baru selesai menyemprotkan inhaler ke dalam mulutnya dan belum menyadari kedatangan Hanum. Hanum pun mendekati Hanna dengan tergesa, merampas inhaler dari genggaman Hanna lalu melemparnya ke sembarang tempat.

"KAK HANUM!" pekik Hanna. Matanya membola menatap inhaler barunya yang tergeletak bersebrangan dengan posisinya.

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!!" geram Hanum.

"Kamu tuh bisa ngga sih liat aku bahagia?! Kamu udah ngambil semua perhatian ibu sama ayah. Dan sekarang kamu mau ngambil Devan dari aku?" sambung Hanum penuh emosi. Suara tingginya menghunus hati Hanna.

Hanna senang karena harapannya akan Hanum yang mau mendatanginya apalagi sampai menginjakkan kaki di kamarnya hari ini terpenuhi. Namun, bukan ini yang ia bayangkan. Bukan Hanum dengan kobaran emosi, melainkan Hanum dengan pancaran kasih.

"Ada apa, Ka-Num? Ak-aku ngga ngerti sama ucapan kamu," lirih Hanna. Pusing sebagai efek samping pemakaian inhaler mendera kepalanya.

""Ada apa" kamu bilang? Kamu pura-pura bodoh atau gimana, Han? Jelas-jelas kamu tuh nyari kesempatan 'kan buat bisa berduaan sama Devan di belakang aku? Kamu iri sama aku? Kamu suka sama pacar aku? Iya?!"

Dahi Hanna mengernyit dibuatnya. Selanjutnya, ia menggeleng kencang seraya berdiri. "Hanum, aku ngga suka sama Devan. Aku ngga ada niat mau rebut dia dari kamu, sedikit pun ngga pernah. Apa kamu ada bukti kalau aku kaya gitu?"

Hanna memperhatikan Hanum yang merogoh gawai dari saku roknya, mencari sesuatu lalu menunjukkan satu gambar pada Hanna. Hanna tentu langsung ingat dengan kejadian di balik foto itu.

"Kamu salah paham, Hanum. Tadi Devan nolongin aku karena aku susah keluar dari kerumunan. Sumpah, ak—"

"Halah, alesan basi, Han! Penjahat ngga akan mau ngaku, ngga akan mau jujur. Kamu pasti mau ngambil Devan dari aku," potong Hanum. Senyum remeh terlukis pada wajahnya.

Sementara, kedua manik jernih Hanna sudah terlapisi air yang siap untuk membasahi pipi tirusnya. Kedua tangannya meraih tangan kanan Hanna, mencoba meyakinkan saudara kembarnya itu.

"Tolong dengerin penjelasan aku dulu, Num, hiks— Aku s-sama Devan tadi ada urusan sama padus. Sebelum ke ruang padus, aku udah bilang sama dia buat duluan pergi karena aku harus ke kantin dulu. Ak-aku takut magku kambuh kalau waktu makanku terlewat. Setelah beli roti sama air minum, aku terjebak di tengah kerumunan. Dev-Devan liat aku yang nyoba buat keluar dari sana, akhirnya dia ... dia narik tangan aku. Kamu pasti tau 'kan aku punya asma? Aku ngga tau kenapa foto itu bisa ada di tangan kamu. Tapi pikiranmu itu ngga bener, Num, hiks—" jelas Hanna yang sedikit terbata oleh isakan. Belum lagi, pernapasannya kembali menyempit.

Hanna menatap penuh harap pada kedua mata Hanum. Masih terpancar kemarahan di sana.

"Aku ngga percaya! Itu pasti akal-akalan kamu aja. Ngambil ibu sama ayah aja gampang buat kamu. Aku jadi ngga ragu buat mikir kalau kamu mau bikin aku tambah menderita. Entah apa lagi yang mau kamu ambil dari aku setelah Devan. Kamu ngga punya hati, Han. Aku ngga suka jadi kembaran kamu. Aku ngga suka punya muka ini. Aku ngga suka sama rasa sakit yang harus aku rasain gara-gara kamu. Aku benci kamu, Hanna!"

Hanna jatuh terduduk di lantai kamarnya dengan tangan yang menyentuh dada. Rasa sesak dari penyakit dan sesak akan perkataan Hanum menyatu, membentuk kubangan di dalam hatinya yang sudah lama retak. Hujan deras dari kedua matanya membasahi paras jelitanya hingga menyentuh lantai dingin kamar Hanna. Gelengan pelan tak henti ia lakukan.

Dengan wajah merah padam, Hanum memutar tubuh bersiap pergi dari hadapan Hanum. Ada setitik rasa sakit pada hatinya. Ikatan batin saudara kembar itu tarik-menarik layaknya magnet. Sebuah cekalan ia rasakan di tangan kanannya. Suara lirih Hanna yang memanggil namanya sedikit menggores hati gadis berpipi tembam itu. Namun, ego kembali menguasai pikiran Hanum.

"Lepas!" Cekalan Hanna mengerat. Hanum berteriak lebih keras. Cekalan itu mengendur bersamaan dengan kemunculan kedua orang tuanya. Sontak saja Hanum terperanjat kaget. Sang ibu langsung menerobos masuk dan berlari melewatinya begitu saja.

"Hanna!" Pekikan sang ibu terdengar dari arah belakang. Dengan perlahan, Hanum memutar pandangannya dan menemukan kepala Hanna dengan wajah pucat pasinya berada di pangkuan sang ibu.

Ingin mendekat, tapi entah mengapa kedua kakinya tidak bisa ia gerakkan. Sepersekian detik, tangannya ditarik kasar oleh sang ayah ke luar kamar. Sebuah tamparan mendarat di pipi kirinya.

"Apa yang kamu lakukan ke Hanna sampai dia pingsan, Hanum?!" bentak sang ayah.

Hanum masih kelu. Sensasi panas pada pipi kirinya dapat ia rasakan. Ini pertama kalinya ia mendapat kekerasan fisik dari ayahnya. Hatinya hancur lebur.

"Ayah kecewa sama kamu, Hanum." Sang ayah berlalu memasuki kamar Hanna, meninggalkan Hanum sendirian dengan isak tangis yang lolos dari bibir mungilnya.

Hanum melangkah lunglai ke arah kamarnya yang berada tepat di depan kamar Hanna. Selesai menutup pintu putih kamarnya, tubuhnya meluruh begitu saja dengan lutut tertekuk. Wajahnya terbenam dalam lipatan lutut dan tangannya, guna meredam tangisan pilu.


***


Sejak saat itu, Hanna dan Hanum tak pernah saling bertegur sapa.

Kesalahpahaman terus berlanjut tanpa dapat dipastikan titik akhirnya.

Ada Hanum yang sama sekali tak acuh pada keluarganya.
Ada Hanna yang masih mengharapkan dekapan hangat Hanum.

Yang tersisa hanyalah;
kesedihan yang senantiasa terpatri di pikiran serta hati Hanna Ziya,
kebencian yang senantiasa tertanam di pikiran serta hati Hanum Ziya,
dan duri tak kasat mata yang menyakiti
sepasang Ziya.

Selesai.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Duri Sepasang ZiyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang