3. Sepasang Mata Biru

313 8 0
                                    

Zeta terus menggiring kedua kakinya masuk ke lift. Di dalam hatinya ia tak henti-hentinya merapalkan doa.

Zeta sesekali menunduk ketika berpapasan dengan orang lain. Matanya terus berkeliling dengan penuh was-was, menghindari pandangan yang tertuju padanya dengan penuh kritik.

Zeta menunduk lebih dalam lagi, ia menyadari kalau pakaian yang dipakainya saat ini sangat kontras dan tak sesuai jika digunakan ketika pagi yang cerah seperti sekarang ini.

Zeta tak memusingkan hal itu. Yang terpenting ia harus pulang ke apartemen sederhananya dengan cepat. Sesampainya ia di luar gedung mewah itu, Zeta yang kebetulan melihat sebuah mobil taksi lewat segera menghentikannya.

"Pak!" teriak Zeta tak sabar seraya melambaikan tangan kanannya ke depan.

Sopir taksi menghentikan mobilnya tepat di depan Zeta, dengan sebuah anggukan darinya, Zeta pun masuk ke dalam taksi.

Zeta tak membawa sepeser pun uang, ia akan membayar ongkos taksi ketika sudah sampai di apartemen nanti.

Tatapan Zeta kosong, kedua matanya terarah ke luar jendela yang menyuguhkan pemandangan indah bangunan-bangunan yang dihantam oleh sinar matahari yang mulai terik.

Zeta meremas dress yang ia pakai, ia menatap bagian atasnya yang sobek sedikit. Ini pasti ulah pria yang menidurinya. Batin Zeta menatap nanar sekali lagi dressnya.

Sang sopir tak berucap sepatah kata pun, dan memilih untuk tetap fokus menyetir. Agaknya sang sopir ingin segera mengantarkan wanita yang duduk di jok belakang ke tempat tujuan. Meskipun tak berucap, rasa iba terlukiskan pada wajahnya yang mulai keriput.

"Sudah sampai, Nona," ucap pria paruh baya itu membuyarkan lamunan Zeta.

"Ah..." Zeta mengedarkan pandangan ke sekeliling seraya membuka pintu mobil. Dengan sangat hati-hati kaki Zeta berpijak pada jalanan aspal.

"Sebentar ya, Pak. Saya ambilkan dulu uangnya di dalam." Zeta membungkuk dan hendak berlari ke apartemen sederhana yang sudah sepuluh tahun ini menjadi tempatnya bernaung.

"Tidak perlu, Nona. Anggap saja ini jackpotmu di pagi ini." Sang sopir mengulas senyumnya sebelum menjalankan mobilnya kembali.

"Terimakasih, Pak. Terimakasih." Zeta tak henti-hentinya berucap dengan badan yang membungkuk dalam.

Setelah mobil taksi tadi tak terlihat lagi, Zeta naik ke lantai dua dari bangunan sederhana di depannya. Lantai dua terdiri dari beberapa ruang yang disewakan, namun hanya Zeta yang betah di sini. Banyak keluhan dari penghuni lain yang tinggal di apartemen tersebut, kebanyakan mengeluh tentang air yang sering kali macet, dan juga listrik yang padam di tengah malam. Berbeda dengan perempuan ini, dia sama sekali tak memberatkan hal seperti itu karena menurutnya bisa bernaung dari hujan dan panas saja sudah cukup.

Sepuluh tahun yang lalu adalah tahun di mana kehidupan Zeta berubah. Kedua orangtuanya meninggal saat hendak pergi ke Dubai untuk menjalin kerja sama bisnis bersama investor di sana. Pesawat yang ditumpangi kedua orang tuanya hilang kontak. Dua hari setelahnya, muncullah berita kalau pesawat tersebut jatuh ke laut.

Zeta sangat terpukul. Dia yang masih kecil merasa duka yang begitu mendalam. Zeta yang saat itu berumur dua belas tahun, sudah tak memiliki siapa-siapa, apalagi tante dan pamannya dengan rakus mengambil semua yang tersisa bagi Zeta. Hingga Zeta tak memiliki apapun juga, ia keluar dari rumah seorang diri dan hidup sebatang kara.

Zeta merenung di depan pintu apartemen. Tangannya yang sudah melingkar di gagang pintu tak kunjung bergerak.

Sebutir air menetes dari mata Zeta, dan disusul dengan butiran yang lain. Zeta terisak. Keputusannya untuk mengikuti kemauan sahabatnya, Sena, telah membawanya pada sebuah petaka. Zeta telah dirampas kesuciannya oleh pria asing yang tak ia kenal.

Zeta terdiam. Di dalam kepala kecilnya itu, ia mulai merangkai kejadian-kejadian semalam yang membuatnya berakhir di sebuah kamar mewah. Ia memaksa otaknya untuk berpikir keras.

Ah, Zeta mengingat mata biru gelap yang begitu indah dari pria semalam.

"Betul, pria itu hanya ingin membantuku. Aku juga yang minta padanya. Bagaimana bisa aku malah menyalahkannya atas kemalanganku ini?" Zeta merecoki dirinya sendiri dengan banyak pertanyaan. Air mata yang tadinya masih mengalir deras di pipinya kini mulai mengering, hanya menyisakan jejaknya saja.


-To Be Continued-

Nafsu Bejat CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang