^Sea Fay Livondyra^

122 62 291
                                    

"Gue cari lo dari tadi, Fay." Seorang lelaki berjalan menghampiri gadis yang duduk sendirian di kursi taman. "Ternyata lo malah ada di sini. Nggak ke kantin? Ngapain ngelamun di sini?"

Yang dipanggil Fay menoleh lalu menatap sekilas orang yang mengajak bicara tanpa niat untuk memberi balasan melewati kata. Fay seolah sengaja menjadikan sorot matanya suatu jawaban yang tersirat.

Walaupun Fay hanya menatap dalam waktu yang sangat singkat tetap saja lelaki yang kini duduk di samping Fay dapat mengetahui apa yang terjadi. Lelaki itu tahu jika pipi Fay basah. Dengan cekatan tangannya mengusap air mata yang kembali luruh. "Lo dari dulu memang cewek cengeng yang sok kuat. Di depan gue nggak perlu kayak gitu Fay. Nangis aja. Ntar gue beliin tissue yang banyak."

Bukannya reda, tangis Fay semakin pecah di pelukan lelaki itu. Tidak tau mengapa jika sudah seperti ini dapat dipastikan semua emosi yang dirasa seakan berlomba untuk membuncah dalam waktu bersamaan. Apa yang Fay dengar barusan seolah berhasil menyentil hatinnya.

"Fay nggak mau kayak gini, Kai."

Setelah membisu dalam waktu yang cukup lama akhirnya Fay mengeluarkan suara. Bergerak menarik diri dari pelukan Kai yang sejak tadi mencoba menenangkan. Perlahan Fay mengangkat pandangan menatap wajah Kai seraya menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga.

Detik itu juga mata Kai langsung membola saat baru menyadari salah satu pipi Fay memar dan terlihat bewarna merah muda. Tanpa bertanya pun Kai sudah mengerti. Sebuah napas Kai hembuskan secara kasar. "Lagi, Fay? Dipukul, ditendang atau ditampar?"

Tidak ada jawaban. Fay kembali membungkam kata membiarkan pertanyaan yang Kai beri mengambang tanpa jawaban. Jujur Fay tidak tahu harus menanggapi seperti apa. Lagi dan lagi Kai berhasil menebak dirinya dengan begitu tepat. 

"Mau sampai kapan Fay? Mau sampai kapan lo tahan kayak gini?" Kai kembali bertanya walaupun tidak yakin mendapat balasan. Namun, saat ini banyak sekali yang ingin Kai sampaikan ketika mendapati Fay mengalami kejadian serupa bukan untuk pertama kali. "Katanya lo nggak mau kayak gini. Kenapa nggak coba tegas sama diri sendiri Fay? Gue nggak habis pikir sama jalan pemikiran lo yang sempit itu. Ngapain biarin diri lo sakit kayak gini? Gue lebih sakit liatnya Fay. Berhenti buat senang orang kalo lo yang sakit buat apa?"

Tangis Fay kembali terpancing. Lidahnya bertambah kaku bagaikan tidak bisa mengucap sepatah kata pun. Rasa bersalah ikut menyeruak saat Fay teringat akan apa yang pernah Kai sampaikan padanya. Kai selalu mengatakan hal serupa ketika Fay terjebak dalam kondisi yang sama. Namun, lagi dan lagi kejadian seperti ini kembali terulang.

"Berat, Kai" lirih Fay seraya mengusap pipi. Pandangannya kembali mengarah pada Kai berharap melewati itu Kai dapat mengerti. "Ini nggak semudah yang Kai kira."

Kai menyandarkan punggung pada sandaran kursi taman. "Gue nggak minta gendong. Apanya yang berat? Gue cuma mau lo berhenti korbanin diri lo lagi. Udah cukup Fay. Kelebihan malah, mau kembalian?"

Kini giliran Fay yang menghembuskan napas kasar. Kai selalu saja merusak suasana. Kesedihannya berubah menjadi kekesalan karena lelaki itu menanggapi sambil becanda. Namun, Fay juga sebenarnya tidak yakin jika apa yang dikatakan Kai barusan memang hanya sebatas lelucon yang tidak disengaja. Bisa jadi karena memang Kai saja yang sedikit tidak waras.

"Kai nggak perlu repot urusin Fay. Bukannya nggak coba, tapi memang Fay belum bisa."

Rasanya percuma berbicara panjang lebar jika yang menjadi tanggapan Fay masih saja sama. Berulang kali memberi tahu tapi Fay seakan hanya menjadikannya angin lalu yang tidak penting. Tidak tahu harus memberi tahu melewati cara yang bagaimana lagi. Kai pada akhirnya hanya bisa diam karena tidak mau terlalu masuk ke dalam hal yang bukan urusannya. Bagaimanapun Kai masih menghargai privasi dan percaya Fay bisa mengatasi semua ini.

Tangan Kai dengan pelan memegang memar di pipi Fay yang masih terlihat merah. Luka itu benar-benar membuat wajah putih mulus Fay menjadi ternoda. Beberapa saat Kai mengamati sahabat kecilnya. Gadis yang dulu ia kenal di bangku sekolah dasar itu tidak banyak berubah. Masih tetap gadis ceria yang banyak menyembunyikan luka di balik tawa.

"Lo memang ngerepotin Fay. Gue juga sebenernya kesel karena lo terlalu keras kepala. Rasanya kurang adil Fay. Orang yang dari dulu dijaga baik-baik malah dibuat sakit kayak gini. Lo tau sendiri kalo gue pernah kehilangan adik perempuan. Nggak mau kejadian itu terulang sama lo. Gue nggak terima, tapi gue bisa apa selain support lo Fay? Sekali pun gue lawan orang itu lo pasti nggak akan kasih izin 'kan? Gue memang nggak punya hak buat ikut campur terlalu banyak, tapi jangan halangin gue buat peduli," jawab Kai seraya bangkit berdiri lalu menyerahkan beberapa permen susu yang selalu ia bawa di sakunya.

Fay mendongak menatap Kai yang lebih tinggi karena posisi gadis itu masih duduk sementara Kai sudah beranjak. Dengan cepat Fay menerima permen pemberian Kai. Untuk yang satu ini Fay tidak bisa menolak karena sangat menggemari permen dengan rasa susu sejak lama. "Kenapa? Lagian Kai katanya peduli, tapi sering juga ngeselin. Kepedulian Kai dikit banget deh kayaknya. Mendingan nggak usah juga nggak papa deh. Fay itu nggak mau banyak bikin repot orang tau."

"Kalo udah nggak sedih lo bawel, Fay," sahut Kai. "Bagus deh. Daripada nangis mulu. Gue bisa bangkrut beliin lo tissue sama permen susu."

Fay mengendikkan bahu. Bahkan dirinya sendiri tidak sadar jika sudah berhenti menangis. Suasana hatinya pun saat ini terasa jauh lebih baik walaupun harus dihadapkan dengan Kai yang menyebalkan. Baru saja hendak menjawab Kai sudah lebih dulu membalikkan badan dan berjalan menjauh.

"Kai mau ke mana ih? Belum selesai!"

Kai seketika menghentikan langkah. Menoleh singkat lalu menjawab, "Beli makan buat puteri Sea Fay Livondyra. Kasian dia, belum makan!"

Ke dua sudut bibir Fay terangkat membentuk sebuah senyuman kecil. Menatap punggung yang perlahan mengecil dari pandangan karena berjalan semakin menjauh. Fay tidak memungkiri jika Kai memang selalu ada dan setidaknya bisa dia andalkan. Fay bersyukur karena itu. Sebuah napas Fay hembuskan bersamaan dengan ngilu yang masih terasa di salah satu pipinya.

Kai benar. Fay tidak bisa diam saja setelah disakiti. Sudah cukup semua yang membuatnya merasa lemah. Fay akan melawan dan menjaga diri jauh lebih baik lagi. Hanya itu keinginan Fay untuk saat ini.

TBC^^



Allo pren ^^

Salam kenal dari Kai, Fay dan author . Gimana bagian satu menurut kalian? Mudah mudahan suka ya ^^

Cerita ini Meqyu ikut sertakan ke dalam nubar yang diadakan. Jadi kalo bisa kalian bantu ya. Jan lewatin cerita ini dan dukung terus ^^

Jangan lupa tinggalkan jejak. Vote dan comments ^^

Salam hangat,

Meamelq

When You Need MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang