1 : Urip

117 29 48
                                    

Hidup itu berjalan maju. Sebab hidup berjalan maju, maka janganlah berjalan mundur. Melawan hidup berarti mati. Karena hanya kenangan yang tersisa dari sebuah kematian.

***

Jogja punya cerita. Sudah hampir satu semester dilalui oleh anak-anak jurusan desain interior di kampus Multimedia. Billy Iskandar Muda salah satunya, seorang pria tinggi kurus dengan rambut belah tengah, tapi tidak terkesan culun. Ya, Billy adalah aku.

Siang ini jam kuliah telah usai. Tidak seperti para mahasiswa yang memiliki banyak kegiatan. Rutinitas ku sebagai seorang kupu-kupu adalah pulang setelah jam kuliah berakhir. Kuliah pulang-kuliah pulang. Looping life.

"Bil, ikut enggak?" tanya seorang pria berjersey bola ketika melihatku berjalan di lorong kampus. Adam namanya.

Ku tatap Adam sambil menggeleng. Tentunya include dengan tatapan datar tanpa semangat khas Billy.

Orang-orang bilang, wajahku terlalu datar dan tidak punya semangat hidup. Jangankan semangat, dibuat tertawa pun rasanya sulit.

Oh ya, setelah kegiatan belajar di kampus aku tidak langsung pulang ke kosan. Ada beberapa cara untuk melepas lelah versi Billy. Salah satunya bermain game di warnet. Tak jauh dari indekos ku ada sebuah warnet bernama Dragonet. Siang ini, selepas kuliah, aku langsung pergi ke sana untuk melepas penat.

Sesampainya di Dragonet, aku menghampiri seorang pria keribo tebal yang merupakan operator warnet. "Bang Wawan, biasa," ucapku.

"Tiga jam ya, Bil?"

"Yoi." Aku langsung berjalan ke komputer yang masih kosong dan duduk di depannya. Tak lama berselang, komputer itu menyala dengan sendirinya. Tanpa basa-basi, aku langsung login ke dalam Steam dan memainkan Dota 2.

Di tengah keasikan itu, tiba-tiba ponselku berdering. Ku tatap layar ponsel sambil menghela napas, lalu berjalan keluar warnet meninggalkan medan tempur yang sedang ku lakoni. Dengan berat hati, ku angkat panggilan tersebut.

"Halo, kenapa?" tanyaku ketus.

"Apa kabar kamu?" balas suara berat di balik panggilan.

"Baik."

Keadaan hening sejenak. Memang begitulah adanya. Aku dan ayahku tidak sedekat anak dan orang tua lain. Entah, ada sebuah perasaan yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Sebuah tembok tak kasat mata terbentang tinggi, membatasi hubungan kami.

"Oh, bagus kalo baik. Ngomong-ngomong kamu enggak ikut UKM atau komunitas musik, kan?"

Aku terdiam. Lagi-lagi musik. Ibuku musisi, aku pun suka musik. Lantas mengapa satu orang ini sangat keras melarangku untuk bermain musik? Dia memang ayahku, tapi dia bukan aku. Aku yang berhak menentukan masa depanku. Aku memiliki hak untuk memilih apa yang aku suka.

"Enggak kok," jawabku sambil tersenyum. Entahlah untuk apa senyum palsu itu. Padahal orangnya juga tidak melihat wajahku saat ini.

"Ya udah kalo gitu. Jaga diri baik-baik."

Panggilan pun berakhir. Aku masuk kembali ke dalam warnet dan mematikan billing yang masih tersisa dua jam sekian menit itu, lalu berjalan keluar.

"Udahan, Bil?" tanya Mas Wawan. "Buka pesbuk doang lu?"

"Udah deh, kagak mood gua, Bang." Aku keluar meninggalkan Dragonet dan berjalan menuju indekos.

Selang sepuluh menit, akhirnya aku tiba di kamar tercinta. Kamar minimalis bernuansa biru muda. Sengaja ku dekor bagian langit-langit dengan kapas dan lampu LED agar saat gelap datang, rasanya aku sedang berada di kayangan.

BillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang