4 : Celah

27 14 5
                                    

Setiap pertanyaan memiliki jawaban, layaknya setiap rapat yang memiliki celah. Jika merasa buntu seolah tak ada jalan dalam perjuanganmu, maka buatlah celah itu sendiri. Sebab kekuatan terbesar manusia, ialah terus berusaha.

***

Meski punya kesempatan, tapi aku memilih berutang pada orang lain ketimbang datang ke Gedung C siang itu. Sengaja ku biarkan ia memiliki sisa nyawaku, agar ia terjebak dalam bayang-bayanganku. Meskipun konteksnya 'membayar utang', tetapi setidaknya aku berharap ia memikirkanku.

Hari ini sudah awal bulan, tentunya aku pun sudah mendapatkan gaji segar dari Ayah. Untuk saat ini uang seratus ribu itu tidaklah penting-penting amat dalam kehidupanku.

Sore ini kami menghabiskan waktu di Gedung C. Sebenarnya itu hanya upaya membunuh waktu, sebab pada awal bulan ini, aku, Tara, Angar, Caplin, dan Adam sudah tinggal di satu rumah, alias ngontrak bareng.

Berhubung kami memiliki jadwal mata kuliah yang berbeda-beda, juga Angar yang berbeda jurusan. Ku putuskan untuk menunggu di Gedung C bersama teman-teman lain yang memang setia di tempat itu.

Aku duduk di kursi menatap teman-temanku yang duduk di lantai bermain kartu. Tentu saja, sambil diam-diam mencuri pandang ke arah gadis favoritku. Ia terlalu fokus dengan laptopnya hingga tak sadar jika aku di sini. Entah, atau memang ia sudah lupa denganku.

"Bil, maenlah sekali-kali," ucap Adam.

Aku tersenyum hambar sambil menatap layar ponselku. "Gua enggak bisa main begituan, yang ada kalah mulu."

"Last nih. Masa iya baru maen langsung kalah? Pemain baru banyak hokinya, Bil," sambung Adam.

Aku bukannya tak ingin bermain, hanya saja aku terlalu pecundang untuk memainkan sebuah permainan. Aku sama sekali tidak lihai bermain. Bahkan hidup ini adalah permainan, dan aku adalah seorang pecundang di dalamnya. Namun, karena paksaan mereka semua, mau tidak mau aku ikut duduk di lantai dan bermain. Meskipun aku tahu, aku pasti kalah.

Permainan pun dimulai, dan benar saja, aku kalah. Berengseknya, kali ini mereka menambahkan bumbu punishment di dalam permainan. Sebagai pecundang, aku harus menelan hukumanku. Aku harus bernyanyi di tengah Gedung C yang ramai ini. Shit!

Aku memang penyuka musik, tetapi bukan begini caranya. Aku tidak pernah bernyanyi di depan orang banyak. Aku ini adalah seorang pemalu yang mulai gemetar saat ini. Terlebih, sahabatku Noir sedang tidak berada di sisiku. Mana mungkin aku sanggup menelan hukuman tersebut mentah-mentah.

Di tambah, kakak tingkat yang ku suka sedang ada di sini. Tentu saja nyaliku berkurang 10000% saat ini. Sial, kenapa penyesalan selalu datang terlambat? Seharusnya aku tidak pernah memainkan satu permainan terakhir itu.

Aku menghela napas pasrah sambil menatap asal. Hingga pada satu titik, aku melihat sebuah tas gitar berwarna hitam. Tas itu berada di samping kakak tingkat kesukaan ku. Aku meneguk ludah dan kehilangan akal karena tekanan dari teman-teman. Ku putuskan bangkit dari posisiku dan berjalan ke arahnya. Rasanya jantungku ingin meledak akibat debarnya yang brutal.

"Permisi, Kak," sapa ku.

Ia menoleh. Seperti biasa, wajahnya jutek, tapi cantik. Sangat cantik dengan rambut sepanjang bahu yang saat ini sedang disanggul.

"Ya? Kenapa?" tanyanya.

Mendadak kesadaran ku kembali. Nyaliku ciut dan tak dapat berkata-kata. "A-anu, Kak ... boleh minjem gitarnya? Saya abis kalah main game dan dapet hukuman disuruh nyanyi."

"Oh, ini?" Ia meraih tas gitarnya. "Pake aja."

Aku segera menelanjangi gitarnya. Jari-jariku mulai mencumbu senar. Jika sudah menyentuh gitar, aku mendadak tenang seolah duniaku terpusat pada gitar di tanganku. Ku setel senar demi senar hingga terdengar tidak sumbang, lalu ku genjreng. Hingga pada satu titik, aku memberanikan diri untuk menatapnya. Ia sedang menatap balik ke arahku, sebab aku masih berdiri di hadapannya sekarang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BillyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang