"SAH!"
Beyza mengangkat kedua tangannya ikut berdoa bersama dengan semua tamu yang hadir di acara pernikahan papanya. Seraya menatap punggung seorang gadis seumurannya yang duduk di kursi kedua dari depan. Sekarang mereka resmi jadi saudari karena mamanya sudah menjadi istri yang di nikahi ayahnya. Tampaknya gadis bernama Kanya itu bahagia memandangi mamanya, berbeda dengan Beyza yang bahkan tersenyum saat acara di gelar pun tidak.
Beyza menoleh ketika Bayu—adiknya yang masih SMP berdiri dari kursinya, hendak pergi. "Mau ke mana, Yu?"
"Cari angin," jawabnya pendek tanpa menoleh. Beyza menatap punggung tegap adiknya yang berusaha membela jalan untuk pergi keluar.
Bi Inai menghampiri Beyza, membawa sebuah perintah dari majikannya. "Bapak panggil, mau sesi foto katanya." Sebenarnya Beyza super malas, tapi ia harus ke sana daripada membuat papanya marah. Ia menelpon Bayu untuk menyuruhnya kembali lalu berjalan naik ke panggung. Kanya melambaikan tangan saat melihat Beyza, Beyza membalas dengan senyum yang di paksakan.
"Sana, ke sebelah Bunda mu," titah Farhat saat Beyza baru saja tiba di sebelahnya. Tanpa menjawab, Beyza langsung bergantian posisi dengan Kanya. Setelah Bayu datang, sesi foto di lakukan dengan senyum yang di paksakan dua orang itu.
kaning menoleh ke sebelah, ia perlu sedikit mendongak untuk melihat wajah anak laki-laki yang lebih tinggi darinya. "Bayu kaku banget kayaknya," ucapnya seraya tersenyum.
"Biasa aja."
"Jangan canggung ke Bunda, ya? Kalau kalian masih nggak nyaman manggil Bunda juga nggak pa-pa, panggil senyaman kalian aja."
Bayu hanya bergumam menanggapi membuat Kaning tersenyum simpul dan hanya bisa memahami. Sebelum pernikahan, Farhat sempat memperkenal ia dengan anak-anaknya. Ia sudah menduga akan sulit mencuri hati Bayu, sedangkan Beyza masih bisa ia hadapi karena sama-sama seorang perempuan. Tapi Bayu, dia anak yang dingin. Bicaranya irit dan malas menanggapi sesuatu yang ia rasa tak penting. Sangat susah untuk di dekati.
Usai sesi foto, Kanya mengambil tangan Beyza, turun bersama dari panggung dan menuju meja yang dekat dengan pintu. Ia dengan ramah mengajak Beyza makan dan mengobrol hangat. Beyza hanya menanggapi sedikit, tidak terlalu antusias.
"Gue serius loh, kalian tuh sering banget jadi bahan obrolan temen-temen sekelas gue. Bisa di bilang lo udah terkenal banget," kata Kanya heboh, sedikit bernostalgia masa-masa SMA.
Mereka sekolah di SMA yang sama, tapi hanya tahu sebatas nama.
"Bukan gue yang terkenal, lebih tepatnya si Aryo. Cowok modal tampang kan emang mudah terkenal. Walaupun dia bukan artis, tapi bisa dapet banyak penggemar," balas Beyza. Ngomong-ngomong cowok itu belum nampak batang hidungnya padahal ia bilang akan datang.
"Masa sih kalian nggak pacaran?" Kanya bertanya ragu-ragu dengan kerutan di dahinya.
Beyza menggeleng. "Cuma sebatas sahabat aja."
"Banyak loh yang meragukan status kalian yang hanya sebatas teman. Masalahnya, pertemanan antara cowok sama cewek nggak mungkin nggak melibatkan perasaan walau sedikit pun."
Beyza setuju. Tapi bagi mereka yang belum mengenal Beyza dan Aryo secara dekat pasti akan meragukan pertemanan mereka yang layaknya pacaran.
"Lo nggak ada perasaan sedikit pun, Bey?"
"Enggak. Gue bahkan hampir nggak anggap dia cowok." Ucapan Beyza membuat Kanya terbahak.
"Loh, kok, gitu?"
"Nggak tau juga kenapa. Kayaknya itu cara gue biar untuk membatasi kalo ada perasaan lebih."
Kanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Mencomot bolu dengan krim ungu di dalamnya. Mereka memberi jeda obrolan, saling mengisi mulut dengan makanan yang ada di atas meja.