09

3.5K 485 49
                                    

trigger warning /// self harm. if you feel uncomfortable with this topic please don't read any further.


Aku terus menatap kaki kananku yang terbalut gips, satu bulan berlalu tapi sakitnya masih terasa, dokter juga berkata bahwa mustahil bagiku untuk berjalan normal bahkan setelah gipsnya dibuka, membuatku mengerang frustasi dan teriak bagaikan orang kehilangan jiwa di atas ranjang rumah sakit yang selama satu tahun penuh tidak pernah aku tinggalkan sejak kejadian hari itu.

Bagaikan orang kehilangan jiwa, jangan bilang aku berlebihan karena kaki adalah separuh bagian jiwaku yang sesungguhnya. Sejak kecil aku menyukai tari lebih dari apapun di dunia, dan Ibu ku bangga karena setelah kepergian Ayah, aku dapat bangkit karena memiliki hobi baru selain menangisi beliau di atas pusara.

Ibu ku yang sedang berada di luar langsung masuk dan memeluk tubuhku yang makin kurus tiap harinya, entah sudah berapa liter air mata yang keluar tapi selama masih ada yang tersisa, aku akan tetap menangis karena kini aku tidak lagi mampu menjalani hari. Tidak tanpa kaki, tidak tanpa menari.

Seketika aku menyesal karena mendapat peringkat satu di kompetisi tari antar kelas, membuat si anak kepala yayasan harus tertunduk malu karena dikalahkan oleh anak baru yang bahkan tidak memiliki harta dan warisan untuk dibanggakan.

Aku yang hari itu tengah duduk di sudut paling tenang di sekolah, dikagetkan dengan dorongan tiba-tiba dari belakang, membuatku terjun dari ketinggian belasan meter karena tidak mampu menjangkau apapun sebagai pegangan.

Mendarat dengan tubuh bagian bawah terlebih dahulu dan membuat kaki kananku remuk seketika.

Seharusnya aku langsung mati, bukan justru terjebak di sini dengan kaki yang tidak lagi dapat aku gunakan untuk menari. Jangankan menari, berjalan saja rasanya sulit sekali, nyeri langsung menjalar dari ujung jari hingga pinggang dan membuatku tidak sanggup untuk sekedar berdiri.

Aku terus menangis sampai dokter datang dan menyuntikkan obat penenang. Proses penyembuhan yang seharusnya selesai dalam beberapa bulan, justru berjalan selama dua tahun, satu tahun pertama aku habiskan di rumah sakit, dan sisanya di tempat rehabilitasi karena aku tidak dapat berhenti menyayat pergelangan tangan agar sakit yang aku rasakan dapat teralihkanㅡyang sekarang sudah tidak aku ingat lagi karena saat berada di sana, semua berjalan bagaikan mimpiㅡ.

So Junghwan, saat puluhan anak menatapku heran di hari pertama masuk sekolah, laki-laki itu justru duduk di sebelahku tanpa banyak bertanya, membuat murid lain heran karena faktanya masih banyak kursi kosong yang belum berpenghuni.

Tapi tidak apa, tubuh besar Junghwan seakan menjadi tembok pelindung dari siapapun yang berusaha mengusik ketenanganku. Cukup dua tahun aku habiskan dengan tangisan, aku harus bangkit dan terus hidup, setidaknya untuk Ibu ku.

Cukup Ayah yang pergi, sedangkan aku harus tinggal di sini.

Itu kalimat yang membuatku bertahan hingga sekarang, selain aku, Ibu memang tidak memiliki siapapun lagi di sisinya. Kedua orang tuanya sudah pergi lumayan jauh sebelum aku dilahirkan, membuat Ibu justru lebih terpuruk dibanding aku ketika Ayah berpulang secara tiba-tiba.

Kembali ke anak laki-laki yang duduk dengan tenang di sebelahku, tidak banyak bicara juga tidak pernah bertanya. Dari samping aku dapat melihat dengan jelas fitur wajah tegas yang hampir tidak pernah terukir senyuman di sana. Maka dari itu aku berusaha untuk melempar candaan agar atmosfer di antara kami tidak secanggung sebelumnya.

Dan berhasil, awalnya aku kira akan sulit untuk mendekatkan diri dengan Junghwan, tapi nyatanya cukup mudah, hanya perlu beberapa lelucon untuk membuat Junghwan menoleh dan melempar tawa indahnya ke arahku.

Ethereal [Hwanbby]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang