Bagian 12

14 1 0
                                    

Lagi-lagi hujan turun tanpa permisi, mereka yang seharusnya sudah sampai di rumah dan berleha-leha justru harus terjebak hujan di koridor sekolah dengan menenteng kantong plastik berisi sepatu masing-masing-agar tidak basah pikir mereka. Sialnya, Jeanna juga menjadi salah satunya. Bersama sosok laki-laki yang setia duduk di bangku dekat kelas dengan ponsel miring di kedua tangannya, seolah tak peduli dengan bagaimana kesal setengah matinya Jeanna karena hujan yang tak kunjung reda. Gadis itu bahkan sudah beberapa kali mengecek langit di atas sana, kiranya ada petunjuk yang akan memberitahukan kepadanya kapan langit akan berhenti menjatuhkan airnya.

Dulu sekali, waktu dia masih duduk di bangku sekolah dasar, jika musim hujan seperti ini tandanya semesta sedang bersedih. Rintik hujan seolah air mata yang tercipta karena suasana hati langit yang sedang kacau. Sama seperti manusia, mereka akan menangis jika sedang bersedih. Maka ketika hujan mulai turun, Jeanna akan bergegas ke arah jendela kamarnya yang tetap tertutup rapat dengan hanya tirainya saja yang dibuka, menatap rinai yang jatuh bersamaan dengan sesekali menggumamkan sebuah kalimat, "Kata Mama, gak boleh jadi anak yang cengeng. Kalau aku nangis, nanti pasti di ejek sama teman-teman. Kalau kamu nangis, di ejek juga gak?" Kala itu, pertanyaannya memang tak mendapat jawaban apapun dari semesta, tapi beranjak dewasa dia jadi mengerti dengan sendirinya. Bukan tentang ejekan yang dia dapat dari teman-temannya ketika menangis, tapi tentang bagaimana dia bisa mengekspresikan perasaannya yang sebenarnya.

Berbeda dengan Mama, seseorang juga pernah bilang sesuatu kepadanya. Katanya, "Gak papa sesekali kamu menangis, kamu juga manusia yang perlu mengekspresikan perasaan kamu. Di dunia ini pasti ada beberapa hal yang membuat kamu sedih, jadi lebih baik nangis daripada di pendem. Tapi janji, jangan nangis sendirian, nangis di pundakku lebih enak, nanti sambil aku elus-elus kepalanya."

Jeanna ingin sekali tertawa ketika mengingat momen itu. Dulu mungkin dia merasa sangat istimewa diperlakukan seperti itu, tapi sekarang justru terdengar lucu baginya. Apalagi ketika mengingat siapa sosok yang mengatakannya.

Gadis itu menoleh ke belakang, kekasihnya itu masih sibuk dengan ponsel tanpa peduli sedikitpun kepadanya. Lalu apalagi yang akan Jeanna lakukan?

Benar. Merampas handphone lelaki itu dalam sekali sentak.

June, laki-laki itu jelas kesal, dia hampir saja kelepasan membentak gadis itu jika tidak ingat dia adalah Jeanna, yang tak lain adalah pacarnya sendiri. Lelaki itu menatapnya dengan tanya, dia segera berdiri dan berusaha mengambil kembali benda miliknya yang Jeanna sembunyikan di balik badan.

"Balikin, Je." Ucapnya.

"Gak! Game mulu dari tadi yang diperhatiin, gak inget lo ada pacar disini?" sarkas Jeanna.

June mengalah, dia membiarkan Jeanna mengambil alih handphonenya. Sementara gadis itu langsung memasukkannya ke dalam tas, lalu berbalik menatap June dengan sebal.

"Bisa gak lo suruh hujannya berhenti?"

"Enggak." Jawab June sekenanya, membuat Jeanna semakin mendesah kesal. "Hujan kan anugerah." Sambungnya tanpa dikira.

Jeanna mendengus, "Seenggaknya biarin gue sampai di rumah dulu kek, gue udah gak tahan mau rebahan."

Lelaki itu tak mengindahkan omelan pacarnya, dia justru menjulurkan tangan dan membiarkannya basah oleh rintikan hujan. Lalu sedetik kemudian dia kembali menoleh, "Main hujan mau gak?" tanyanya, membuat si gadis sontak melotot. Bukan terkejut karena ajakan dari June, tapi dia terkejut karena ajakan itu berasal dari mulut lelaki itu. Rajendra June yang dulu dikenalnya sebagai si dingin tak tersentuh itu dengan enteng mengajaknya bermain hujan. Mungkin detik ini juga Jeanna akan mengakui, bahwa June 100% sudah berubah.

Lama tak mendapat jawaban, akhirnya June melangkah lebih dulu. Membiarkan tubuhnya kuyup dibawah guyuran hujan. Kedua matanya terpejam dengan kepala yang mendongak ke atas, rasanya begitu tenang. Seolah beban yang bersarang di kepalanya selama ini ikut mengalir bersama air. Seolah sesak yang terjebak dalam rongga dadanya, untuk pertama kalinya menemukan jalan keluar.

AMORIST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang