"Kak Sila! Berhenti dulu, Kak!"
Gadis berparas jelita terlihat mencekal sebuah lengan kanan milik gadis berparas jelita lain yang bernama Asila itu di depannya. Asila menepis cekalan itu seraya membalikkan tubuhnya.
"Jangan ikutin aku, Dela! Aku benci kamu!" Asila melangkah pergi. Adela menundukkan kepalanya menahan rasa sesak yang lagi-lagi mendera hati lembutnya.
Koridor kampus yang ramai itu terasa memberat. Menanggung kesedihan Adela beserta segala ucapan yang keluar dari mulut para mahasiswa yang sejak tadi ikut menjadi saksi keduanya. Mereka saling berbisik keheranan melihat sepasang mahasiswi kembar yang jauh dari kata akur. Ditambah kata kebencian menjadi akhir dari perbincangan keduanya.
Tak tahan dengan segala bisikan yang terdengar, Adela melangkah pergi. Tujuannya adalah toilet. Setibanya di sana, gadis itu membasuh wajahnya guna menahan air yang sejak tadi menunggu untuk dikeluarkan. Namun, hujan itu tak dapat terbendung lagi. Ia menutup wajahnya, menyembunyikan hujan dari kedua mata jernihnya serta meredam suara isakan agar tak terdengar oleh siapapun. Kilasan ingatan tiga hari yang lalu berputar di otaknya selayaknya film.
Malam itu, untuk ke sekian kalinya, Adela merasakan sakit atas perbuatan yang tidak dilakukan oleh dirinya. Ruang tamu megah bernuansa putih dan coklat terasa menegangkan. Bentakan sang ayah pada malam itu terasa menyakitkan, sama seperti bentakan-bentakan sebelumnya. Rasa perih di pipi tirus sebelah kirinya akibat tamparan keras sang ibu seakan ia rasakan kembali. Telapak tangan lembut sang ibu yang sudah lama tak ia sentuh menyapanya dengan emosi pada malam itu.
Adela meminta penjelasan atas hal itu, tetapi jawaban yang ia dapat berakhir membuatnya sedih. Lagi-lagi saudara kembar yang selalu ia panggil "Kak Sila" itu berbohong, menjadikannya korban atas sesuatu yang sama sekali tidak ia perbuat.
"Sebelum pulang tadi, aku dihampiri tiga mahasiswi. Mereka menarikku ke kamar mandi lalu menampar dan menarik rambutku, Bu. Aku sempat menanyakan penyebab mereka berbuat itu dan jawaban mereka adalah... mereka diperintah oleh Adela, Bu. Padahal aku selalu baik pada Adela. Ibu dan ayah tahu itu 'kan? Hiks."
Penjelasan yang keluar dari mulut tipis Asila sontak menyayat hati Adela. Ia sama sekali tidak pernah meminta orang lain untuk menyakiti Asila, saudara kembarnya sendiri. Dari situlah, sang ibu melayangkan tamparannya. Selanjutnya, tiga hari terakhir ini kedua orang tuanya mendiamkannya, khususnya sang ibu. Sering kali sang ibu mengucapkan bahwa Asila adalah anak kesayangannya. Pun terbukti dari segala perhatian yang memberat pada gadis berpipi tembam itu. Adela mengerti itu.
Kakaknya senang playing victim, berperilaku seakan-akan menjadi korban, membuat Adela menjadi si antagonis yang selalu menyakiti Asila. Padahal, ia yang selalu menjadi korban dari segala perbuatan kakaknya. Namun, Adela tidak pernah bisa marah atau membenci saudara kembarnya itu. Meskipun selama sembilan belas tahun hidup sebagai saudara kembar Asila, Adela tak pernah merasa kakaknya itu memiliki rasa sayang padanya.
Setelah cukup lama menangis, Adela menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu memandang sendu pantulan wajah putihnya yang tampak memerah di cermin. Kepalanya sedikit pening. Pernapasannya terasa menyempit. Ia merogoh sesuatu dari saku roknya. Sebuah inhaler itu lantas ia semprotkan ke dalam mulutnya hingga napasnya terasa cukup teratur. Tak lupa ia kumur-kumur setelahnya lalu membasuh wajahnya. Untung saja matanya tidak begitu sembab sehingga ia tidak perlu panik jika ada yang menyadarinya.
Adela pun berjalan keluar dari toilet menuju ruang kelasnya, bertepatan dengan bel tanda masuk kelas siangnya.
Bersambung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Celah Bahagia
Short StorySinopsis: Adela Putri dan Asila Putri. Sepasang gadis kembar berusia sembilan belas tahun. Selama sembilan belas tahun menjadi penghuni bumi, Adela tidak pernah merasakan kebahagiaan yang sebenarnya dari keluarganya. Bahkan ia menjadi korban atas pe...