Pintu Konflik

4 1 0
                                    

Mobil jemputan itu akhirnya tiba di luar kampus Adela. Adela yang sudah menunggu sekitar lima belas menit pun langsung memasuki mobil hitam legam itu. Tak lupa si sopir meminta maaf padanya sebab terlambat menjemput. Adela pun membalasnya dengan sopan karena sebenarnya ia tidak nyaman harus selalu diantar jemput. Namun, perintah mutlak ayahnya mana bisa ia tolak. Yang ada, ia dicap sebagai anak durhaka nantinya.

Setelah 25 menit perjalanan, mobil yang membawa Adela itu tiba di rumah mewah keluarganya yang bernuansa putih dari luar. Setelah berterima kasih, Adela langsung memasuki rumahnya. Waktu baru menunjukkan pukul empat sore. Suasana sepi yang menyambut sudah tak lagi asing bagi Adela. Mungkin bisa dibilang, kini ia berteman dengan sepi.

Tungkainya melangkah menuju kulkas yang berada di dapur untuk mengambil susu pisang kesukaannya. Setelahnya, Adela pun melangkah menuju kamarnya di lantai dua. Kepalanya tertunduk memperhatikan setiap anak tangga yang ia pijak. Hingga atensinya teralih pada presensi sang kakak yang tengah menatapnya dari puncak anak tangga dengan tangan bersedekap.

"Susu pisang lagi? Haha, kekanakan," ejek Asila kala mendapati sekotak susu pisang di genggaman Adela. Adela yang mendengarnya hanya menunduk dan melanjutkan langkahnya. Ia tak ingin berdebat dengan sang kakak karena rasanya pun tak mungkin ia akan menang melawan gadis yang memiliki wajah yang sama persis dengannya di hadapannya itu.

"Kok diem doang sih? Ngga sopan banget." Adela mengangkat wajahnya menatap Asila yang tengah memandang ke bawah.

"Maaf, Kak," cicit Adela.

"Kamu mau liat sesuatu ngga?" Adela memandang Asila tak percaya. Kakaknya itu biasanya tidak mau berbincang lama dengannya. Alhasil tanpa ragu, Adela menganggukkan kepalanya.

Asila memperlihatkan layar gawainya yang menampilkan sebuah foto kepada Adela. Adela terkejut karena foto tersebut menampilkan Asila dan Vino, kekasihnya, yang saling bergenggaman tangan seraya tersenyum.

Adela beralih memandang sang kakak yang tengah tersenyum miring. "Itu m-maksudnya apa, Kak?"

"Aku suka sama Vino. Kamu putusin dia, ya?" pinta Asila dengan mudahnya. Adela tentu menolak.

"Ngga bisa begitu, Kak. Aku sayang sama Vino. Maaf, kali ini aku mau egois."

Adela melangkah ke kamarnya di sisi kanan meninggalkan Asila yang masih terdiam dengan amarahnya. Selama ini, ia yang selalu mengalah. Ia yang selalu menerima segala keputusan. Untuk masalah percintaan, Adela ingin menjadi egois. Hanya cinta Vino yang bisa membuatnya merasakan kebahagiaan meskipun foto tadi sempat membuatnya sakit hati. Tidak, ia tidak boleh menyimpulkannya sendiri.

Setelah mandi sore, Adela merebahkan tubuhnya di atas ranjang besarnya yang bergaun kuning, warna kesukaannya. Susu pisang yang tadi ia bawa, ia simpan di atas nakas di samping kanan tempat tidur dan masih tertutup rapat. Pandangannya mengarah ke langit-langit putih kamar. Foto tadi seakan tergambar di sana.

Atensinya teralih pada gawai putihnya kala benda itu terasa bergetar di samping kiri kepalanya. Ah, ternyata Vino yang menelepon. Sontak hatinya menghangat.

"Halo, Vino," sapa Adela lembut.

"..."

"Oh, kamu ada di luar? Ya udah aku turun dulu."

Adela bergegas berjalan ke luar kamar dan juga keluar dari rumahnya. Dapat ia lihat seorang lelaki terkasihnya sedang duduk di atas motor besarnya di luar gerbang tinggi rumahnya. Tanpa disuruh, satpam penjaga gerbang rumahnya pun membuka gerbang itu.

"Kamu ngapain ke sini tiba-tiba? Biasanya bilang dulu," tutur Adela dengan raut senang. Vino menoleh ke arah Adela lalu menyodorkan jam tangan berwarna hitam pemberian Adela.

"Kenapa? Jamnya rusak?" Adela meraih jam itu. Ia perhatikan kedua jarum jamnya masih bergerak dengan baik.

"Tapi masih bagus kok, Vin." Adela menyodorkan kembali jam tangan itu pada Vino yang masih setia menatapnya.

"Vino?"

"Aku mau ... aku mau kita putus, Del." Raut senang Adela perlahan luntur. Matanya pun memanas.

"Kenapa? Aku ada salah ya sama kamu? Aku minta maaf kalau gitu. Tapi aku ngga bisa putus sama kamu, Vino."

Vino mengusap kasar wajahnya. Matanya terpejam sejenak lalu menatap intens pada Adela. “Aku udah bosen sama kamu. Aku suka sama Asila,” ujar lelaki itu tanpa keraguan. Walau jauh di lubuk hatinya, ia sangat ingin memukul dirinya sendiri karena dustanya itu. Seandainya Asila tidak mengancamnya dengan melukai Adela, Vino takkan pernah mau mengakhiri hubungannya dengan gadis terkasihnya.

"Kamu becanda 'kan, Vin? Aku masih sayang sama kamu," tutur Adela bersamaan dengan tetesan air matanya.

"Aku serius. Aku ke sini sekalian mau ngajak pergi Asila. Makasih buat dua tahunnya ya, Del." Air mata Adela kian deras keluar seakan tak peduli dengan keadaan sekitar. Hati Vino hancur melihat tangisan pilu Adela.

"Kamu tega, Vino. Kamu tega!" Adela langsung berlalu masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Vino di luar sendirian. Vino menatap nanar punggung bergetar gadis itu dengan hati yang terus merapalkan kata maaf.

Bersambung.

Celah BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang