[Aldila]
Di bawah langit malam penuh gemintang, terhampar sebuah bukit kecil dengan pohon besar di tengahnya dan rumput ilalang tinggi di sekujur tubuh bukit. Tempat itu sukses menyembunyikan kehadiran seorang gadis bangsawan yang meringkuk di bawah pohon. Sayang sekali, tak ada yang bisa menyembunyikan tangisannya yang bahkan membuat rembulan bergeming.
Festival tahunan baru saja berakhir. Astrid seharusnya beristirahat di rumah besarnya setelah seluruh usahanya sebagai klan Hurd yang sudah menyiapkan festival paling besar itu terbayarkan. Ratu bahkan memberinya pujian. Namun, perasaan itu kembali. Seluruh senyum palsu yang ia terima hari ini sekali lagi membuatnya tersadar betapa tidak ada orang di dunia ini yang memberinya cinta dengan tulus.
Sesempurna apapun kehidupannya, Astrid selalu merasa ada yang kurang lengkap. Ada potongan kecil dalam dirinya yang kosong. Rasanya, dulu pernah terisi sekali. Semakin ia mencoba mengingat bagaimana rasa cinta, semakin tangisannya pecah.
"Anakku, usaplah air matamu
Tak perlu menangis pilu
Kau aman dalam dekapanku"
Astrid mengangkat kepalanya saat ia mendengar sebuah suara. Itu adalah suara merdu seorang lelaki yang mengalunkan sebuah lagu dengan lembut. Lagu yang amat dikenalnya saat kecil.
***
"Nona, aku akan bernyanyi untukmu!"
Astrid kecil yang masih tak berhenti menangis itu tidak menjawab. Hanya satu anggukan kecil membuat anak laki-laki yang barusan bicara itu melompat turun dari dahan pohon besar di atas bukit. Anak itu berucap sembari mengambil duduk di sebelah Astrid, "Nenekku selalu menyanyikan lagu ini saat cucunya menangis. Begini lagunya..."
Astrid menoleh padanya. Perlahan tangisnya tergantikan oleh senyuman manis saat anak laki-laki itu mulai bersenandung dengan lembut.
"Anakku, usaplah air matamu
Tak perlu menangis pilu
Kau aman dalam dekapanku
Yang lalu biarlah berlalu
Yang baru 'kan datang padamu
Rajut langkah tak perlu ragu
Percayalah pada sang waktu
Kelak kau 'kan terpaku
Pada hasil perjuanganmu"
"Bagus sekali, Kamal."
Astrid melemparkan senyuman itu pada anak seumurannya itu, lantas mengusap sudut matanya yang kembali berair. Membuat Kamal langsung salah tingkah, "N-Nona, mohon jangan menangis lagi!"
"Bagaimana aku bisa menangisi lagu indah yang sudah menenangkanku?" sahut Astrid. Gadis kecil itu kemudian menarik tangan Kamal dan berkata, "Aku ingin mendengar lagu itu terus, Kamal. Maukah kamu menyanyikannya untukku, jika suatu hari aku bersedih lagi?"
Kamal menggeleng, "Tidak mau."
"Hm? Kenapa?"
Kamal menggenggam tangan Astrid yang berada di atas pangkuan sang gadis kecil, "Aku tidak mau menghibur Nona yang bersedih. Aku lebih baik berjuang menjaga Nona Astrid biar tidak ada sedih-sedih lagi. Selamanya."
"Selamanya?" ulang Astrid. Sepasang matanya yang membulat berbinar terang. "Apa itu artinya kamu akan berada di sisiku untuk selamanya?"
Kamal mengangguk, "Aku akan selalu bersamamu, Nona Astrid Hurd."
Astrid melepas genggaman tangan itu dan mengacungkan jari kelingkingnya, "Janji?"
Kamal tanpa ragu mengangkat kelingkingnya juga dan melingkarkannya pada kelingking Astrid yang lebih kecil, kemudian menatap gadis kecil itu dengan tatapan yang seolah siap berjuang dalam perang terbesar, "Janji."
***
Astrid berdiri. Pandangannya langsung terangkat ke atas pohon. Sesuai dugaannya, ada seorang laki-laki duduk di dahan yang kokoh. Bersenandung dengan suara beratnya yang masih sama lembutnya seperti dulu.
"Kamal!"
Lelaki itu melompat turun dengan sebilah pedang di salah satu sisi tubuhnya. Ia membungkuk sopan tanpa sepatah kata pun sebilah senyuman. Meskipun begitu, Astrid yakin lelaki di hadapannya ini adalah Kamal.
"Apa kamu kemari untuk memenuhi janji yang pernah kita buat di sini, saat kecil?" tanya Astrid yang seolah merasa seluruh kesedihannya menguap.
"Maaf aku tidak bisa memenuhi janji itu, Nona." Kamal menjawab pelan. "Aku telah hampir membunuh Ratu. Seluruh negeri ini sedang mengincar kepalaku untuk persembahan Ratu. Bagaimana aku bisa kembali padamu dalam keadaan seperti ini?"
Astrid merajut satu langkah, "Aku tahu kamu melakukan itu demi orang tuamu. Orang tuamu telah berjasa untuk menegakkan hak rakyat kecil dalam demonstrasinya waktu itu. Bahkan dua dari tiga klan bangsawan terbesar percaya bahwa kematian orang tuamu adalah kesalahan Ratu. Aku yakin Ratu sendiri akan memaafkan kesalahanmu jika kamu—"
"Mudah bagimu, Nona." potong Kamal. "Nona adalah putri Klan Hurd yang dipercaya oleh istana dan publik. Apapun yang kamu inginkan pasti akan terwujud. Tentu tidak bisa disamakan dengan aku yang hanya rakyat biasa."
Astrid terdiam sejenak. Ucapan Kamal barusan mirip seperti apa yang seluruh negeri ini katakan padanya. Mudah. Semuanya mudah baginya. Namun, "Yang aku butuhkan adalah kamu, Kamal. Hanya kamu orang yang bisa mencintaiku dengan cinta yang tak sebanding dengan harta dan tahta yang aku miliki."
"Dan Nona akan kehilangan keduanya jika memilih kita," sambung Kamal yang air mukanya kian mengeras. "Tidakkah Nona membayangkan bagaimana negeri ini akan menilai Nona? Putri satu-satunya keluarga bangsawan dari Klan Hurd menikah dengan putra rakyat jelata Klan Borghild yang pernah mencoba membunuh Ratu. Kehilangan kepercayaan publik akan menjatuhkan kasta keluargamu. Seluruh kehidupan sempurnamu akan hilang dalam sekejap."
Kamal merajut selangkah juga, menatap Astrid yang tengah menahan ledakan tangisnya kembali. Lelaki itu berucap pelan, "Percayalah, Nona. Aku mencintaimu, karena itulah Nona harus membiarkanku pergi."
Astrid membalik tubuhnya, menatap ke arah rumah besarnya di kaki bukit. Setetes air mata membasahi pipinya. Dua, tiga, empat tetes menyusul. Dalam tangisnya ia berkata, "Pergilah. Aku tidak mengenal Kamal Borghild yang pengecut."
"Nona—"
"Setajam apapun sebuah pedang, ia tidak berguna bagi orang yang tidak berani mengambil tindakan." Astrid memotong panggilan Kamal. Kembali berbalik, Astrid menatap lelaki yang dicintainya itu dengan lelehan air mata di wajahnya. Ia berucap lirih, "Kalau kita memang saling cinta, mengapa kita tidak berjuang bersama saja?"
Semua sudah terlambat, namun...
Kamal menekuk sebelah lututnya. Ia keluarkan pedangnya dan ditancapkannya di tanah yang menjadi jarak antara tempatnya dan gadis yang dicintainya itu berpijak. Kamal mengangkat kepalanya, dengan air mata yang mulai membasahi wajahnya, ia mengikrarkan sumpah.
"Aku pamit pergi... untuk kemudian kembali padamu dalam keadaan pantas. Sampai saat itu tiba, pegang pedang ini dalam genggamanmu. Dengan begitu, kamu akan mengerti bahwa aku tidak akan lari lagi. Jikapun iya, satu-satunya alasanku berlari adalah untuk berpulang padamu, Nona Astrid Hurd."
Astrid menggenggam tangan Kamal yang memegang pedang. Perlahan ia menekuk lutut. Kini mereka sejajar. Sebuah senyuman terpatri di wajahnya yang masih basah air mata. Anggukan kecil ia berikan.
Sumpah cinta telah digenggam keduanya.
Pedang itu menjadi saksinya. Sebilah pedang dengan ukiran nama pemiliknya di salah satu sisinya. Di sana, tertulis nama Alas.
Alas ialah dasar. Dasar yang menjadi tempat singgah siapapun yang berjuang di atas bumi. Untuk sekedar beristirahat atau bahkan untuk menetap dan membangun kehidupannya sendiri.
END
*ALAS juga adalah singkatan dari Kamal dan Astrid.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTOLOGI PUING-PUING (KLS x GIS)
Short StoryPada 13 Agustus hingga 22 Oktober 2022, saya telah mengumpulkan puing-puing dari teman-teman peserta KLS dan inilah karya kami bersama. Ucapan terima kasih yang besar saya sampaikan kepada para siswa peserta Klub Literasi Sekolah (KLS) di kelas C-42...